Setelah beberapa kali mengikuti mata kuliah Etika Komunikasi, saya baru menyadari bahwa ternyata media-media di Indonesia banyak melakukan pelanggaran. Tidak hanya media cetak, namun juga media elektronik. Hal ini tentunya bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik yang sudah ditentukan oleh Dewan Pers.
Seperti misalnya kasus yang dilakukan oleh wartawan Jawa Pos. Ia berpura-pura mewawancarai istri Nurdin M Top dan ternyata ia hanya melakukan wawancara fiktif. Setelah tahu bahwa oknum tersebut melakukan wawancara fiktif maka atasannya langsung menindak tegas dengan melakukan pemecatan dan menyebarkan permintaan maaf kepada publik. Hal ini terus terang mencoreng nama besar Jawa Pos, karena sekali saja timbul berita seperti ini, maka ke depannya publik akan meragukan kebenaran dari berita yang ditampilkan.
Untuk kasus media elektronik, dapat dilihat ketika peristiwa ledakan bom yang terjadi di hotel JW Marriott. Ketika itu, stasiun-stasiun televisi berlomba-lomba untuk menanyangkan siaran eksklusif mengenai keadaan hotel setelah terjadi ledakan. Mereka memang ingin dengan cepat menyebarkan berita namun mereka melupakan Kode Etik Jurnalistik dengan menayangkan seseorang yang digotong keluar dari hotel dengan pakaian yang tersobek-sobek dan dengan wajah serta tubuh yang mengeluarkan banyak darah. Hal-hal seperti ini sebenarnya boleh untuk diambil, namun hanya sebatas untuk dokumentasi, bukan untuk ditayangkan ke publik.
Saya berharap ke depannya media cetak maupun elektronik lebih mementingkan kode etik seperti yang telah ditentukan oleh Dewan Pers. Bersaing untuk memperoleh keuntungan dalam dunia jurnalistik memang wajar, namun ada baiknya kita lebih mementingkan konten dan isi dalam sebuah berita karena media adalah sebuah lembaga independen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar