Kamis, 24 Juni 2010

Analisis : Tayangkan LIVE Sidang Asusila Antasari, TV One Ditegur KPI *Claudy Isabella*

** ABSTRAKSI **

Tanggal 8 Oktober 2009 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menggelar sidang kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, dengan terdakawa Antasari Azhar. Dalam sidang yang terbuka untuk umum tersebut, Jaksa Penuntut Umum Cirus Sinaga, membacakan dakwaan setebal tujuh halaman, yang berisi kronologis pertemuan Antasari dengan Rani Juliani di kamar 803 Hotel Grand Mahakam, Jakarta. JPU menceritakan, pembunuhan Dirut PT Putra Rajawali Banjaran tersebut berawal dari pertemuan Rani dengan Antasari utnuk membicarakan keanggotaan Antasari di modern Golf Tangerang.


Sidang yang berisi pembacaan dakwaan jaksa itu membeberkan secara mendatail dan vulgar hubungan intim Antahari dengan Rani. Pemaparan dakwaan yang vulgar itu tak hanya membuat terpengaruh para hadirin diruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi juga membuat banyak kalangan terutama para orang tua, yang bersama anak dibawah umur menyaksikan lewat layar kaca. Pasalnya, sidang terbuka itu disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi, salah satunya adalah TV One. Pemaparan dakwaan yang vulgar dan berbau pornografi dalam sidang terbuka dinilai tak etis secara prinsip moralitas hukum.


TV One melalui program acaranya, Breaking News, menyiarkan pembacaan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Jakarta Selatan mulai pukul 09.45 WIB (19/01/2010). Sempat membuat “heboh”, akhirnya KPI Pusat dan Dewan Pers sepakat menyatakan bahwa TV One telah melakukan pelanggaran beberapa pasal yang berkaitan dengan penyiaran, pers, standa rprogram siaran (SPS), dan kode etik jurnalistik.


Program "Breaking News" dinyatakan telah melanggar Pasal 36 ayat (3) dan (5b) UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat 1 dan Pasal 17 (j) SPS KPI tahun 2009, serta Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Menurut KPI, sekalipun pembacaan tuntutan dibuka untuk umum, namun jika di dalamnya terdapat unsur dugaan perbuatan mesum dan vulgar, maka siaran yang menyiarkan hal tersebut secara berulang-ulang, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Sebab telah mengabaikan perlindungan terhadap hak dan kepentingan anak-anak dan remaja.

----------------------------------------------------------------------------------

** LANDASAN TEORI **


UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

* Pasal 36 ayat (3)
Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

* Pasal 36 ayat (5)
Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.




UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

* Pasal 5 ayat (1)
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.




Standar Program Siaran KPI Tahun 2009

* Pasal 13 ayat (1)
Program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak, remaja, dan perempuan.

* Pasal 16 ayat (1)
Program siaran wajib memiliki batasan terhadap adegan seksual, sesuai dengan penggolongan program siaran.

* Pasal 17 j
Percakapan atau adegan yang menggambarkan rangkaian aktivitas ke arah hubungan seks dan/atau persenggamaan.




Kode Etik Jurnalistik
* Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

* Penafsiran :
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

----------------------------------------------------------------------------------


** ANALISIS **

Berawal dari pembacaaan dakwaan JPU, yang menceritkan pertemuan Rani dengan Antasari untuk membicarakan keanggotaan Antasari di Modern Golf Tanggerang. Menjelang pulang, terdakwa memberi Rani uang 300 dollar AS. Antasari lalu memeluk Rani dan mengajak bersetubuh. Namun, ajakan ditolak dengan mengatakan, “Lain kali aja Pak,” ucap JPU menirukan Rani dalam pembacaan dakwaan. Tak berhenti sampai di situ, terdakwa lantas mencium pipi kiri dan pipi kanan.

Pertemuan itu lalu diceritakan Rani kepada Nasrudin. Merasa mempunyai kepentingan, Nasrudin lantas meminta Rani kembali menemui Antasari. Ia berharap Rani dapat menjadi penghubung dengan Antasari. Hal ini terkait dengan usaha Nasrudin untuk menjadi direktur BUMN. Setelah dihubungi, terdakwa bersedia bertemu di tempat yang sama. Selanjutnya, dengan menggunakan taksi, Rani dan Nasrudin menuju Hotel Grand Mahakam.
“Saat akan menuju kamar, korban diminta agar mengaktifkan HP supaya bisa mendengar pembicaraan,” terang JPU.

Pada saat Rani masuk, ucap JPU, Antasari sudah berada di dalam kamar dan mempersilakan Rani duduk di sofa. Rani kembali meminta Antasari menjadi anggota Modern Golf, dan juga menanyakan kemungkinan “kerabat”-nya (Nasrudin) menjadi Direktur BUMN. Di sela pembicaraan, Antasari meminta Rani memijat punggungnya. “Pada saat sedang dipijat, terdakwa membalikkan tubuh lalu mencium pipi, bibir, membuka kancing baju dan menurunkan bra sebelah kiri sambil berkata ‘katanya pertemuan selanjutnya kamu mau’,” terang JPU.

“Ajakan tersebut kembali ditolak Rani. Karena takut terdengar korban, Rani kemudian mematikan telepon seluler. Meskipun ditolak, terdakwa masih terus menjamah tubuh Rani Juliani dan meminta Rani memegang alat kelamin Antasari hingga mengeluarkan sperma. Sebelum pulang, Antasari memberikan uang sebesar 500 dollar AS,” ujar JPU.


Yang menjadi masalah disini adalah TV One menayangkan secara langsung pembacaan tersebut, yang notabene adalah sidang yang terbuka untuk umum. Sidang-sidang di pengadilan yang bersifat terbuka untuk umum, biasanya berhubungan dengan kepentingan publik. Yang bersifat tertutup misalnya menyangkut sidang anak-anak, keluarga atau perbuatan asusila. Kategori yang kedua inilah yang memang tertutup untuk disiarkan langsung.

Lalu dimana letak kesalahan lembaga penyiaran (TV One) dalam kasus tayangan langsung/LIVE sidang Antasari Azhar? Jawabannya adalah kesalahan prosedur lapangan.

Prosedurnya, dalam waktu empat detik setelah on air, produser siaran di lapangan langsung bisa melakukan sensor jika ada materi siaran langsung yang diduga melanggar kode etik. Jika menyangkut bahasa audio, maka produser acara LIVE, menghapus sehingga tidak keluar suara. Yang terlihat hanya gerak bibir orang. Hal seperti ini, biasa dilakukan beberapa lembaga siaran luar negeri seperti CNN. Barangkali itulah kesalahan TV One yang tidak melakukan mekanisme itu. Hal tersebut, menyadarkan lembaga penyiaran, betapa pentingnya melakukan mekanisme swasensor. Terutama acara yang disiarkan secara LIVE, yang materinya diduga akan membentur masalah etika. Di sinilah pentingnya peran ombudsman atau majelis etik pada setiap lembaga siaran. Seharusnya mereka lah yang aktif memeriksa siaran-siaran yang menimbulkan reaksi publik. Jika memang ada siaran yang melanggar etika penyiaran, ombudsman harus segera menyiarkan kesalahan tersebut dan meminta maaf kepada publik. Meminta maaf tidak akan meruntuskan kredibilitas lembaga penyiaran.

Media siaran juga sebenarnya punya organisasi, yaitu ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia). Mereka juga telah memiliki Kode Perilaku sendiri. Semestinya majelis etik ATVSI bersikap aktif dalam kasus penayangan langsung sidang Antasari Azhar tersebut. Jika memang ditemukan pelanggaran dari TV One, mereka dapat membuat surat teguran, yang juga diumumkan ke publik. Jika mekanisme swasensor bisa dilakukan lembaga siaran sendiri, dan peran majelis etik ATVSI berjalan, maka lembaga siaran tak lagi membutuhkan teguran dari KPI atau Dewan Pers. Memang, alangkah indahnya jika setiap institusi mau mematut diri di depan kaca. Jika perlu dilakukan setiap hari. Tapi bukan untuk menjadi semakin narsis. Melainkan untuk mengenali “bintik noda” yang ada. Sekecil apapun “bintik noda” itu, harus segera dihapus agar memperoleh kepercayaan publik. Tapi jika media siaran tak mau juga berkaca diri, maka jangan salahkan jika ada institusi seperti KPI yang setiap saat akan menyemprit mereka. Untung jika sempritan KPI masih berupa “kartu kuning”, bukan “kartu merah”. Tentu kita tidak mengharapkan jika sempritan itu dibunyikan ramai-ramai dari publik!

Jika itu yang terjadi, di sinilah kredibilitas media penyiaran menjadi taruhannya.

Selasa, 15 Juni 2010

Regulasi Media Menjawab Tantangan New Media

Regulasi Media Menjawab Tantangan New Media

“People are afraid of and resist new media.”(Wartella & Reeves 1983)
Kira-kira itulah yang dipikirkan sebagian orang ketika mendengar new media. Di mana sebagian orang mungkin akan takut akan keberadaan media baru sementara sisanya akan bertahan. New media sendiri lahir dari istilah”konvergensi”.
Konvergensi diartikan sebagai cara menyajikan konten berita melalui platform media yang beragam dalam satu kesatuan (usaha) maupun komando (cara kerja di News Room), menghadirkan konten yang beragam kepada khalayak yang beragam pula sesuai minat dan media yang digunakan (elektronik, online, mobile).
Maka tidak mengherankan jika saat ini komputer dapat difungsikan sebagai pesawat televisi, atau telepon genggam dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi (3G). Dalam dunia penyiaran, digitalisasi memungkinkan siaran televisi memiliki layanan program seperti layaknya internet. Cukup dengan satu perangkat, seseorang sudah dapat mengakses surat kabar, menikmati hiburan televisi, mendengar radio, mencari informasi sesuai selera, dan bahkan menelpon sekalipun.
Konvergensi sendiri dianggap jalan keluar jika kita bicara media print, media elektronik, maupun media online. Orang menganggap dengan mengkonvergensi beberapa bentuk media, maka tugas mereka dalam menciptakan media baru bisa dinyatakan selesai.
Menurut Preston, 2001, Berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology / ICT) selama dekade terakhir membawa tren baru di dunia industri komunikasi yakni hadirnya beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan teknologi komunikasi massa tradisional. Pada dataran praktis maupun teoritis, fenomena yang sering disebut sebagai konvergensi media ini memunculkan beberapa konsekuensi penting. Di ranah praktis, konvergensi media bukan saja memperkaya informasi yang disajikan, melainkan juga memberi pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi yang sesuai dengan selera mereka. Tidak kalah serius, konvergensi media memberikan kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data dan sebagainya.

Keuntungan dan Konsekuensi
Dalam konteks besar, sebenarnya konvergensi media bukan hanya mempengaruhi pertumbuhan teknologi yang makin cepat, tetapi juga mengubah hubungan anatar industri, pasar, gaya hidup, dan konsumsi yang apabila ditarik garis panjangnya maka akan mengarah pada bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan.
Sekarang makin terasa sedikit banyak terdapat penurunan yang signifikan terhadap pelanggan media print. Sejumlah ahli memprediksi media tradisional(media print) hanya dapat bertahan kurang dari 50 tahun lagi. Hal ini disebabkan masyarakat akan meninggalkana media tradisional(media print) dan beralih pada new media(media online).
Secara tidak sadar konvergensi media memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memperluas pilihan akses media sesuai dengan selera mereka. Namun dari sisi ekonomia, media konvergensi memberikan peluang profesi baru di industeri komunikasi. Konvergensi media menyediakan kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi secara visual, audio, data dan sebagainya (Preston, 2001: 27).
Pendidikan pun ditilik menjadi suatu hal dasar yang dibutuhkan seseorang untuk berkembang dalam industeri ini. Sumber daya yang berkemampuan tinggi dibutuhkan untuk bekerja dalam new media. Pendidikan yang berujung pada kurikulum yang merangkum berbagai aspek ICT.
Namun di sisi lain, perlu diakui new media menjadi sesuatu yang mampu menarik perhatian masyarakat. Karena masyarakat hanya tinggal mencari informasi yang diinginkan dengan bantuan internet, seketika itu pula informasi muncul..
Sisi positif yang diperoleh khalayak memang bisa terlihat jelas, namun kekurangannya juga tidak kalah mendebarkan, dalam media online kekurangan yang terlihat ialah wartawan juga harus mengupayakan meng update berita-berita di lapangan dan memangkas tugas editor yang berfungsi untuk menyaring berita-berita yang masuk. Keberadaan konvergensi media menjadikan sebuah kompetisi baru muncul sehingga keakuratan berita menjadi bias.
Berbeda dengan media konvensional yang lebih ruwet. Pada dasarnya konvergensi media yang hadir menciptakan jurang yang besar antara media lama dengan media baru. Media lama cenderung menampilkan informasi secara general bagi masyarakat, namun dengan kehadiran konvergensi media dalam bentuk media online tiap orang tak perlu menyerap semua inforamsi yang ditawarkan mereka tinggal memilih informasi apa yang mereka butuhkan. Namun, dengan berkurangnya penyaringan berita meningkatkan resiko bias nya keakuratan informasi bagi para khalayak selaku pengguna new media akibat konvergensi media. Di mana kepentingan-kepentingan tertentu mungkin memainkan peran dari informasi yang ditawarkan lepas dari pengawasan editor.

Regulasi Konvergensi
Disinilah regulasi berperan untuk menjaga kepentingan masyarakat dari kepentingan-kepentingan tertentu. Tujuannya yaitu untuk meminimalisir masyarakat yang memiliki potensi besar untuk menjadi korban konvergensi media, khususnya generasi muda yang dianggap memiliki akses terhadap media konvergen dan rancunya batasan seberapa jauh isi media konvergen dianggap melanggar norma yang berlaku..
Namun, yang menarik ialah bahwa teknologi selalu mendahului regulasi. Bagaimana caranya mengontrol semua ini? Yang dianggap paling berwenang ialah negar akarena negara dianggap penyeimabng antara pasar dan masyarakat. Di sisi lain negara mempunyai wewenang untuk menjaga efektifnya sebuah regulasi.
Secara ideal hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat seharusnya berjalan seimbang. Jangan sampai salah satu pihak mendominasi dan masyarakat hanya bisa menerima informasi apa yang diberikan media.
Andrea Laksmi/ 0710110029

Rabu, 26 Mei 2010

Media Cetak Mati

Dulu ketika kita ingin menonton berita kita harus melihatnya di televisi. Jika ingin membaca berita kita menggunakan koran, majalah, tabloid, dan sebagainya. Tetapi saat ini, hanya dengan menggunakan satu media kita dapat menikmati berita dalam bentuk audio dan visual. Portal berita di internet pada saat ini sudah menyediakan layanan berita audio dan visual. Inilah yang disebut konvergensi media, ketika berbagai macam jenis media terhubung dalam satu wujud media, tepatnya media internet.

Saat ini, di Indonesia sedang marak membahas mengenai konvergensi media. Bahkan pemerintah akan membuat undang-undang terkait konvergensi ini dengan harapan akan menghindari tumpang tindih undang-undang yang terkait masalah informatika, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Harapan pemerintah untuk dapat mengatuk aliran informasi berada di undang-undang terkait konvergensi ini karena dalam tahun-tahun ke depan perkembangan teknologi informasi akan sangat pesat. Ditakutkan tanpa adanya undang-undang ini, kericuhan akan terjadi.

Masyarakat menyambut bahagia adanya konvergensi ini. Hal ini memungkinkan mereka menikmati berita dengan lebih mudah, cepat, dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Bahkan dengan optimis sebagian besar masyarakat berpendapat, di industri media, selain media online, yang lainnya akan mati, terutama media cetak.

Penulis kurang setuju dengan pendapat ini. Belum tentu 100 persen media cetak akan mati. Memang banyak media cetak besar yang bangkrut karena jumlah oplah yang menurun dengan drastis. Media cetak yang ada sekarang pun sudah membangun kerajaan media internet. Tetapi penulis yakin media cetak akan tetap bertahan, di tengah-tengah serangan konvergensi ini. Ada dua hal yang melatarbelakangi alasan ini. Demikian penjelasan singkat penulis terkait hal ini.

Pertama adalah karena masih banyak juga pihak-pihak yang senang membaca dalam bentuk fisik. Ada sensasi yang berbeda ketika membaca dalam bentuk fisik dan digital. Membaca digital kita membutuhkan telepon genggam atau laptop atau komputer. Telepon genggam memang bisa dibawa ke mana-mana, praktis pula karena bentuknya yang kecil. Tetapi bentuknya yang kecil juga menjadi penghambat. Akan sangat tidak nyaman untuk membaca tulisan yang serius dengan huruf yang kecil, terutama jika tulisannya panjang. Berita online saat ini cenderung pendek supaya pembaca tidak terganggu masalah ini, tetapi berita yang ada tidak memiliki kedalaman seperti yang dimiliki oleh media cetak, terutama majalah. Jika ingin mendalam, maka harus lebih panjang tulisannya sehingga akan kembali ke masalah yang telah dijelaskan.

Jika menggunakan laptop atau komputer masalah yang akan dihadapi berbeda. Ketika kita membaca media cetak, kita bisa membaca dalam posisi apapum. Tengkurap, telentang, jongkok, loncat-loncat, semuanya bisa. Bagaimana dengan komputer? Kita harus dengan setia duduk manis di depan layar. Komputer tidak dapat dipindah ke mana-mana. Dengan laptop memang lebih fleksibel, tetapi tetap saja dinamis gerakan kita akan terganggu. Laptop yang seberat 1 Kg saja sudah dibilang ringan, bandingkan dengan media cetak yang beratnya hanya beberapa gram. Selain itu, laptop juga terkena masalah di lamanya dia dapat beroperasi. Daya tahan sebuah laptop memiliki batas, empat jam sudah dikatakan memiliki daya tahan yang tinggi. Jika baterai sudah habis laptop tak lagi dapat digunakan. Jika laptop di charge, masalah yang dialami pengguna akan sama, yaitu kurangnya kedinamisan dalam bergerak

Kedua adalah faktor pembuktian sejarah. Ketika media radio datang, media cetak diisukan mati. Ketika media tv datang, media cetak diisukan mati. Tetapi sejarah membuktikan media cetak tetap dapat bertahan hidup di tengah serangan-serangan tersebut. Tidak tertutup kemungkinan media cetak juga akan tetap bertahan hidup si tengah serangan konvergensi ini ketika dia masih memiliki pengganggum.

Selain kedua pendapat yang lebih ke arah logika, penulis juga memiliki pendapat pribadi. Bagi penulis, media cetak tidak akan mati karena masih banyak pihak-pihak yang menyukai membaca informasi dan berita yang dituangkan dalam bentuk media cetak. Salah satunya adalah penulis sendiri.

Steffi Indrajana

New Media, Media Convergence, dan Kesiapan Indonesia

Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa banyak hal telah berubah atau hadir dalam wujud yang baru. Salah satuny mengenai media. Lebih tepatnya, mengenai media massa.
Pesatnya perkembangan teknologi dalam beberapa dekade terkahir tak ayal membawa banyak dampak ke berbagai sektor. Salah satunya di sektor media di mana perkembangan teknologi ini menghadirkan apa yang disebut sebagai new media. Dan, new media itu sendiri pada ujungnya juga akan mengarah kepada perubahan besar yang disebut sebagai konvergensi media.

New Media
Apakah New Media itu? Pertanyaan tersebut kerap dilontarkan ketika kita berduksi mengenai apa new media itu dan apa saja contohnya.

Sesuai namanya mengandung kata new, new media membawa konsep newness dalam pengertiannya. Sederhannya, new media adalah medium yang mampu menghadirkan teknik dan tata cara baru dalam penyampaian dan pertukaran pesan.

DVD dan VCD tergolong new media pada zamannya, namun pada saat ini, mereka sudah tidak relevan lagi disebut new media karena sudah tidak mempunyai unsur newness. New media sekarang mengacu pada hubungan antara medium-medium tradisional dengan media internet. Sebagai contoh adalah bagaimana situs-situs internet mampu menampilkan fitur-fitur televisi, radio, dan media cetak ke dalam situsnya.

Menjelaskan lebih lanjut mengenai konsep new media, Leah A. Lievrouw and Sonia Livingstone dalam bukunya yang berjudul Handbook of New Media berkata bahwa untuk bisa disebut sebagai new media, sebuah medium harus memiliki 4C dan tiga elemen dasar. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

A. 4C
• Computing and Information Technology: Untuk bisa disebut New Media, sebuah medium (media massa) setidaknya harus memiliki unusr information, communication, dan Technology di dalam tubuhnya. Tidak bisa hanya salah satunya saja.
Contoh: Internet

• Communication Network: Sebuah New Media harus memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah jaringan komunikasi antar penggunannya.
Contoh: Forum diskusi di situs internet.

• Digitised Media and Content: Yang tergolong relevan untuk disebut sebagai new media saat ini adalah apabila media massa tersebut mampu menyajikan sebuah medium dan konten yang sifatnya digital.
Contoh: E-paper, Youtube.

• Convergence: New media harus mampu berintegrasi dengan media-media lain (baik tradisional maupun modern) karena inti dari konvergensi adalah integrasi antara media yang satu dengan media yang lain
Contoh: Situs Internet yang mampu menampilkan siaran TV dan Radio.

B. Tiga Elemen Dasar New Media.
• Piranti atau medium yang memudahkan, mengefektifkan, mengefisiensikan, dan memperluas komunikasi antar penggunannya

• Membentuk aktivitas komunikasi yang melibatkan penggunaan medium atau piranti (new media) dalam prosesnya.

• Membentuk sebuah jaringan komunikasi (organisasi) yang melibatkan penggunaan medium atau piranti (new media) dalam prosesnya.

Selain 4C dan tiga elemen dasar di atas, Terry Flew dalam bukunya yang berjudul An Introduction to New Media juga menjelaskan bahwa cukuplah relevan apabila saat ini kita menyamakan New Media dengan Digital Media. Hal ini disebabkan karena unsur New Media pada dasarnya sama dengan Digital Media yaitu:

• Meliputi berbagai wujud konten media yang mengintegrasikan data, text, audio, dan visual.

• Berada dalam wujud digital, bukan manual.

• Konten didistribusikan melalui sebuah jaringan komunikasi yang terstruktur seperti jaringan broadband fibre optic, satelit, dan gelombang microwave

• Memiliki konten atau informasi yang bisa diubah dan dimanipulasi sesuai kebutuhan, situasi, dan kondisi.

• Memiliki konten yang bisa disebarkan atau dipertukarkan kepada khalayak secara bersamaan.

• Memiliki konten yang bisa disimpan dengan mudah meski dalam media penyimpanan berkapasitas kecil sekalipun.

• Memiliki konten yang ukurannya bisa disesuaikan dengan kebutuhan (Compressible) agar tidak terlalu banyak memakai kapasitas media penyimpanan.

Media Convergence

Berkembang pesatnya penggunaan new media tak ayal melahirkan apa yang disebut sebagai Convergence Culture.

Convergence culture adalah sebuah budaya di mana media-media yang ada sekarang, baik tradisional maupun modern, saling diintegrasikan atau dikombinasikan ke dalam satu wujud media. Sederhannya, konvergensi media memperkaya jenis informasi yang bisa disajikan dan disebarkan kepada khalayak. Sebagai contoh adalah media internet di mana ia bisa mengintegrasikan fungsi media cetak, radio, dan televisi ke dalam satu wujud portal internet.

Di ranah praktis, konvergensi media bukan saja memperkaya informasi yang disajikan, melainkan juga memberi pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi yang sesuai dengan selera mereka. Tidak kalah serius, konvergensi media memberikan kesempatan baru yang dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data dan sebagainya (Preston: 2001).
Berdasarkan buku An Introduction to New Media, sang penulis, Terry Flew, juga menambagkan bahwa Konvergensi media merupakan hasil dari irisan tiga unsur New Media yaitu Jaringan Komunikasi, Teknologi Informasi, dan Konten Media

Kesiapan Indonesia

New Media dan Media Convergence jelas merupakan hal yang menarik untuk diwujudkan. Namun, yang menjadi pertanyaan sakarang, siapkah Indonesia apabila kedua hal di atas diaplikasikan di dalam media-medianya?

Jika meniliki lebih dalam, saya beranggapan bahwa media Indonesia-indonesia sebenarnya sudah tergolong siap untuk menghadapi apa yang disebut sebagai Convergence Culture di mana New Media dan Konvergensi Media meruapakan unsur essensial di dalamnnya. Kesiapan ini bisa kita lihat mulai dari banyaknya konglemerasi-konglemerasi media Seperti Jakob Oetama (Kompas) ataupun Harry Tanoe Soedibyo (MNC) yang mulai mengembangkan bisnis medianya ke arah New Media (Contoh: Kompas.com dan Okezone.com).

Selain sudah adanya kesiapan dari pihak media, piranti-piranti keras yang mendukung konvergensi media juga sudah banyak tersebar di Indonesia seperti Smartphone, Netbook, Notebook, ataupun Console. Bahkan, beberapa dari piranti-piranti di atas sudah bisa didapatkan dengan harga yang relatif murah. Hal ini memungkinkan khalayak(Warga Indonesia) untuk memanfaatkan penuh kelebihan dari New Media ataupun Konvergensi Media.

Meskipun sudah ada dukungan dari Pihak Media dan piranti keras, bukan berarti tidak ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan Indonesia dalam menghadapi Convergence Culture. Indonesia masih harus mempersiapkan UU yang sekiranya bisa membatasi penggunaan New Media agar tidak mengarah ke hal yang negatif. Selain itu, infrastruktur jaringan telekomunikasi di Indonesia juga perlu ditingkatkan agar khalayak mampu memanfaatkan kelebihan konvergensi media secara cepat, nyaman, dan maksimal.

Sejauh ini, tampaknya Indonesia sudah mulai mempersiapkan untuk diri menghadapi Convergence Culture. Hal ini bisa dilihat dari adanya pembicaraan mengenai undang-undang yang terkait konvergensi untuk menghindari tumpang tindih dengan undang-undang mengenai masalah informatika seperti UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Istman/07120110008/Ilmu Komunikasi UMN 2007

Dampak Dari Konvergensi Media

Saat ini dalam penyampaian informasi baik itu berupa tulisan, video, dan visual kepada khalayak, para pekerja media sudah mulai meramu semua elemen tersebut dalam bentuk digital. Hal tersebut disebut dengan konvergensi media. Tentu daja dengan adanya konvergensi ini akan menimbulkan banyak konsekuensi yang harus dihadapi.

Contohnya saja, sudah banyak media yang memindahkan informasi yang ada di koran, majalah, tabloid mereka dalam bentuk online atau disebut dengan nama jurnalisme online. Di sini, Khalayak pengakses media konvergen alias ”pembaca” tinggal meng-click informasi yang diinginkan di komputer yang sudah dilengkapi dengan aplikasi internet untuk mengetahui informasi yang dikehendaki dan sejenak kemudian informasi itupun muncul. Alhasil, aplikasi teknologi komunikasi terbukti mampu mem-by pass jalur transportasi pengiriman informasi media kepada khalayaknya.

Di sisi lain, jurnalisme online juga memampukan wartawan untuk terus-menerus meng-up date informasi yang mereka tampilkan seiring dengan temuan-temuan baru di lapangan. Dalam konteks ini, konsekuensinya adalah berkurangnya fungsi editor dari sebuah lembaga pers karena wartawan relatif mempunyai kebebasan untuk segera meng-up load informasi baru tanpa terkendala lagi oleh mekanisme kerja lembaga pers konvensional yang relatif panjang.

Selain itu juga, dengan adanya konvergensi media, kemungkinan akan mematikan media cetak pada masa yang akan datang. Hal tersebut dapat saja terjadi saat dimana kebutuhan informasi yang semakin cepat dan media cetak tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut karena keterbatasan yang dimiliki maka semua khalayak akan berbondong-bondong untuk memilih media digital yang lebih efisensi untuk mendapatkan informasi dengan cepat.

Kelebihan dari konvergensi media tidak hanya cepat dalam penyampaian informasi ke khalayak tapi seorang khalayak pengakses media konvergen secara langsung dapat memberikan umpan balik atas pesan-pesan yang disampaikan. Sedangkan di media cetak yang dimana umpan baliknya tertunda (biasanya kalau di Koran umpan baliknya berupa surat pembaca).

Tentu saja dengan banyaknya khalayak memilih media digital untuk memuaskan kebutuhan informasinya, secara otomatis segala macam bentuk periklanan juga akan beralih ke media digital karena tuntutan dari konsumen tersebut. Dengan begitu media massa cetak pelan-pelan akan ditinggalkan oleh khalayak dan pengiklan bila arus perkembangan teknologi informasi terus berkembang dengan pesat.

RUU Konvergensi

Seperti kita ketahui sudah banyak pekerja media beralih ke online serta juga sudah banyak khalayak yang mengaksesnya agar tetap di koridor yang semestinya, pemerintah membuat payung hukum yang disebut dengan RUU Konvergensi.

RUU Konvergensi ini isinya tentang informatika, yaitu UU No 36 Tahun 1999 membahas tentang telekomunikasi, UU No 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik, UU No 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Keempat UU ini sangat diperlukan, karena dalam tahun-tahun ke depannya perkembangan teknologi informasi sangat pesat.

Dengan adanya, konvergensi media maka akan mengubah pola-pola hubungan produksi dan konsumsi, yang penggunaannya berdampak serius pada berbagai bidang seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan.

Selma Dianne Ratih

07120110031


Online, Dentang Kematian Surat Kabarkah?

Grace Natali-07120110023

Belakangan, sering terdengar di telinga kita surat kabar-surat kabar di negeri Paman Sam terpaksa gulung tikar. Bahkan mereka yang tak lagi terbit itu bukan berasal dari kalangan surat kabar yang bisa dipandang sebelah mata. Banyak dari mereka telah berusia lebih dari 100 tahun.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Banyak hal yang melatarbelakanginya. Krisis ekonomi, hilangnya pendapatan dari iklan, serta berkurangnya oplah yang drastis membuat mereka kian merugi. Parahnya, keberadaan media gratis yang beredar beberapa tahun belakangan ini juga turut ambil bagian dalam menggeser keberadaan surat kabar yang tergolong media ‘sepuh’ ini.

Ternyata hal ini tak hanya menimpa koran-koran kecil saja. Koran sekaliber The Seattle Post-Intelligencer yang telah terbit sejak 1863 pun terkena imbasnya. Senin, 16 Maret 2009, mereka menerbitkan edisi terakhir dan resmi mengakhiri sepak terjang mereka di sunia percetakan. Begitu pula halnya dengan The Christian Science Monitor yang berusia 100 tahun dan Rocky Mountain News, koran nomor satu di Colorado yang berusia 150 tahun itu. Namun, apakah mereka mati begitu saja?

Tidak. Nyatanya, mereka hanya berpindah media saja. Dari media cetak ke online. Seperti yang sudah diguratkan di atas, surat kabar berbayar kini kalah saing dengan media-media gratis. Media online termasuk di dalamnya. Media-media online ini menyediakan berita-berita yang tak berbeda dengan yang disediakan oleh surat kabar bahkan lebih cepat dan update. Selain itu, jika orang-orang membaca berita yang ada di media online mereka pun tak dikenai biaya. Hal inilah yang akhirnya membuat banyak orang berpindah media. Media cetak kehilangan pelanggan. Seakan-akan surat kabar telah kehilangan daya tariknya. Mereka seperti tak lagi bertaring.

Lantas, apakah ini dentang kematian bagi surat kabar? Saya pikir jawabannya tidak. Belum tentu. Media cetak memang sepertinya tergeser oleh kecepatan arus perkembangan zaman. Ketidakmampuannya untuk meng-update berita secara cepat menjadi salah satu titik kelemahannya. Biaya produksi yang mahal pun membuatnya harus mengenakan biaya pembelian pada para pelanggan. Namun, pembahasan berita yang mendalam, analisis-analisis berita yang kritis, tak dapat dikalahkan oleh media lain. Orang-orang pasti akan cenderung menilik pada surat kabar jika ingin mengetahui perkembangan suatu kejadian secara mendalam.

Namun demikian, surat kabar pun harus tetap peka dengan perkembangan zaman yang semakin maju seperti ini jika tak mau akhirnya tutup seperti surat kabar di atas. Mereka sebaiknya tidak menganggap media online sebagai pesaing namun justru mengamini mereka sebagai teman dan peluang baru. Media online sebagai inovasi dalam berbisnis. Ya, peluang dengan adanya konvergensi media.
Konvergensi media atau penyatuan antara media cetak, televisi, radio, dan online menyebabkan masyarakat dapat mengakses informasi dengan sangat lengkap. Informasi tersebut dapat berupa gambar, audio, teks, bahkan video sekalipun. Selain itu, dalam mengakses informasi tersebut masyarakat tak hanya berlaku sebagai pihak yang pasif seperti yang terjadi selama ini. Ketika mengakses informasi, masyarakat dapat langsung meresponi berita yang sedang mereka baca, lihat, dan dengarkan. Media menjadi interaktif dan masyarakat dapat memilih berita yang ingin mereka nikmati.

Media online menjadi primadona dalam hal ini. Dan karenanya banyak media Amerika yang menganggap mereka sebagai perebut pangsa pasar. Walaupun pada akhirnya saat tutup, mereka juga serta merta berpindah ke media online tersebut. Padahal jika sedari awal mereka menjadikan media online sebagai pendukung bagi media surat kabar mereka belum tentu hasilnya demikian.

Media cetak harus sadar dalam perkembangan teknologi yang dahsyat seperti ini kekurangan-kekurangan yang mereka miliki harus disubstitusi dengan kekuatan yang dimiliki teknologi online ini. Sebut saja salah satu koran di Indonesia, Kompas yang tak memandang online sebagai pesaing.

Untuk mencegah nubuatan akan matinya media cetak karena online, Kompas justru membuat unit bisnis baru, Kompas.com, demi mendukung keberadaan Kompas. Dengan Kompas.com, penikmat Kompas dapat membaca berita-berita teranyar yang sedang terjadi. Mereka pun bahkan dapat menikmati berita-berita Kompas cetak. Sedangkan untuk menutupi kekurangannya karena tak bisa meng-update berita, maka dalam setiap beritanya, Kompas cetak memberikan link Kompas.com jika pembaca ingin mengetahui update berita tersebut. Dan sampai saat ini, tebukti kedua media tersebut merupakan media yang terpercaya dan memiliki pemasukan yang terbilang besar. Simbiosis mutualisme yang menguntungkan bukan?

Konvergensi media yang dilakukan oleh Kompas merupakan salah satu contoh yang dapat dilirik oleh media cetak lainnya. Mereka akan tetap dapat bertahan hidup jika menjadikan konvergensi media sebagai sahabat bukan musuh. Mengikuti perkembangan teknologi merupakan salah satu langkah penting untuk menyelamatkan hidup sebuah media konvensional ini.

Jadi, wahai media cetak, janganlah jauhi media online. Rangkullah ia dan jadikan ia sebagai senjata pamungkas.

Rabu, 05 Mei 2010

Tanjong Priok dan Televisi (Harry 07120110001)

Abstract
“Kita juga bisa kejam, bisa meledak, ngamuk, membunuh, membakar, khianat, menindas, memeras, menipu, mencuri, korupsi, khianat dengki, hipokrit..”
Mochtar Lubis
Manusia Indonesia
Mungkin saat ini, Mochtar Lubis di atas sana sedang tersenyum miris. Campuran sedih, marah, geram, mungkin mengutuk. Bagaimana tidak, pidatonya 33 tahun lalu mengenai ciri manusia Indonesia, terbukti masih relevan sampai sekarang . Lihat saja peristiwa Tanjung Priok kemarin sore.
Manusia yang terkapar bersimbah darah diinjak-injak. Dipukul dengan kayu, besi, dan apapun yang cukup keras untuk menyakiti. Teriakan “bakar!bakar!’ sambil menyeret seseorang yang bersimbah darah. Tangan manusia yang hampir putus disabit benda tajam. Ambulance dihadang mengangkut korban yang sekarat. Disabit dengan golok. Anak-anak tanggung mengacung-acungkan parang. Mobil dibakar. Barang-barang dijarah. Perang batu. Terkadang diiringi oleh chanting kepada Tuhan.
Media massa, khususnya televisi harus menyadari besarnya pengaruh mereka. Bias, opini pribadi, dan tidak mengindahkan azas praduga tak bersalah harus dihindari. Dalam kasus ini, setidaknya ada tiga kelemahan televisi-kemungkinan terjadi demi eksklusivitas dan memenangi persaingan-kesalahan informasi mengenai eksekusi makam, penayangan gambar yang tidak pantas, dan pengulangan gambar-gambar yang bisa menimbulkan bias.
Televisi menulis bahwa makam akan digusur, sedangkan pihak pemerintah mengatakan hanya akan membongkar gapura dan pendapa, bukan makam. Dan re-chek ke pemerintah dilakukan terlambat-setelah kerusuhan pecah.
UU Penyiaran
Bagian Isi Penyiaran
Isi Siaran

Pasal 35

Isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.


Pasal 36

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

(5) Isi siaran dilarang :

a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau

c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Analisis
Gambar-gambar manusia dinjak-injak, terkapat bersimbah darah, dan teriakan “bunuh!bunuh!” bukan tidak mungkin membuat pihak yang menonton marah, tanpa dengan tepat mengatahui duduk persoalanya menuding salah benar.
Tambahkan dengan pengulangan terus menerus gambar-gambar ini, apa yang kita dapat?
Puluhan kilometer dari Tanjung Priok, sekelompok orang, mungkin ratusan, menyerbu kantor dan mengancam membakar kantor walikota di Jakarta Pusat, membuat wakil gubernur harus dievakuasi. Bukan tidak mungkin peristiwa anarkis yang sama dilakukan ditempat lain dengan alasan solidaritas.
Dengan tayangan yang disiarkan live dan pada pukul 4 sore-jam diaman banyak anak-anak sudah pulang sekolah, serta tidak adanya sensor, jelas tayangan ini melanggar Pasal 36 ayat 3 yang berbunyi:
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
Dan juga pasal 36 ayat 5b yaitu:
(5) Isi siaran dilarang :

a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau

c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Contoh Pelanggaran Terhadap Kode Etik Jurnalistik

Maria Goretti – 07120110002
Jurnalistik UMN

Bab 1
Abstraksi

Pada awal kemunculannya, media berfungsi mulia, yaitu sebagai alat untuk menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang menjadi landasan moral hidup bermasyarakat hingga sekarang. Seiring perkembangan zaman, fungsi lain ditemukan, yaitu sebagai alat untuk menyebarkan informasi. Waktu berlalu dan penyebaran informasi yang tadinya hanya satu arah berkembang menjadi dua arah, konsumen media dapat memberikan feedback. Media lalu tumbuh menjadi industri. Kini, ukuran kesuksesan sebuah media dalam industri adalah kuota iklan, rating dan share.
Pada masa inilah, muncul penyimpangan dalam dunia media, dunia jurnalistik. Untuk memperoleh kuota iklan, rating, dan share yang baik, media seringkali melakukan hal yang berlebihan. Hal tersebut bertujuan untuk menarik minat pengiklan dan konsumen media. Sebagai upaya mencegah terjadinya penyimpangan dalam dunia jurnalistik, dibentuklah sebuah Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Dalam karya tulis ini, penulis akan menganalisis beberapa kasus yang terjadi dalam dunia pers nasional. Kasus tersebut melibatkan para jurnalis dan perbuatannya yang emlanggar Kode Etik Jurnalistik serta merugikan konsumen media.








Bab 2
Landasan Teori

Kode Etik Jurnalistik yang berlaku di Indonesia disusun oleh para jurnalis yang bernaung di bawah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers, pada tahun 2006. Pada bab ini, penulis akan mencantumkan beberapa pasal dalam Kode Etik Jurnalistik yang berkaitan dengan analisis kasus pada bab berikutnya.

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara..

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006




Bab 3
Analisis Kasus

Pada bab ini, penulis akan menjabarkan beberapa pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis di Indonesia.

1. Pemberitaan kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One

Menurut Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan yang kurang berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian saja.
Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama.

Pasal yang dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama yaitu Antasari atau Rani.

2. Kasus wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.

Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan berita yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan. Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi diragukan.

3. Kasus bentrok saptol PP dengan warga memperebutkan makam Mbah Priok belum usai. Banyak hal bisa dilihat dari kasus ini, di antaranya soal bagaimana televisi menyiarkan kasus ini. Saat terjadi bentrok, banyak televisi menyiarkan secara langsung. Adegan berdarah itupun bisa disaksikan dengan telanjang mata tanpa melalui proses editing.

Penyiaran langsung gambar korban bentrokan di Koja, Tanjung Priok, merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Gambar korban berdarah-darah dikategorikan sebagai berita sadis, dan tidak semua konsumen media dapat menerimanya. Pihak keluarga korban yang kebetulan sedang menonton televise pun bisa menerima dampak psikologis atau traumatis jika melihat kerabatnya mengalami luka yang mengenaskan.

4. Selain kasus bentrokan di Koja, pemberitaan lain yang memuat gambar sadis dan melanggar Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik adalah pemberitaan tentang ledakan bom di Hotel Ritz-Carlton dan JW Mariott, Kuningan, bulan Juli tahun lalu. Pada siaran langsung suasana tenpat kejadian beberapa saat setelah bom meledak, Metro TV memuat gambar Tim Mackay, Presiden Direktur PT Holcim Indonesia, yang berdarah-darah dan tampak tidak beradaya, di jalanan. Penanyangan gambar tersebut tentu tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalisitk dan dapat menimbulkan dampak traumatis bagi penonton yang melihat.

TVOne dan Pelanggaran Etika (Margareta Engge Kharismawati 07120110026)

Bab 1
Abstrak


Pertelevisian Indonesia kembali menuai permasalahan. Kali ini, stasiun televisi Aburizal Bakrie, TVOne digugat kredibilitasnya. Program Apa Kabar Indonesia Pagi tanggal 18 Maret 2010 yang menghadirkan narasumber seorang markus (makelar kasus) pajak, Andreas Ronaldi, diduga adalah markus palsu.
TVOne menghadirkan Andreas Ronaldi, pria yang mengaku markus di Mabes Polri. Pada waktu itu, Andreas mengenakan topeng dan menggunakan nama samaran Roni. Selain itu, suaranya pun diubah sedemikian rupa sehingga tak tampak suara aslinya. Andreas mengaku ia telah menjadi markus selama 12 tahun di lingkungan Mabes Polri. Mabes Polri kemudian menangkap seorang yang diklaim sebagai narasumber program acara Apa Kabar Indonesia Pagi tersebut pada tanggal 7 April 2010, dengan landasan dugaan rekayasa berita. Andreas adalah seorang karyawan lepas pada sebuah perusahaan media hiburan.
Terkait dengan pernyataan yang dikeluarkan Mabes Polri, TVOne menyatakan belum dapat memastikan apakah makelar kasus yang dimaksud adalah narasumber yang pernah tampil di program Apa Kabar Indonesia Pagi tanggal 18 Maret lalu. Tetapi, juru bicara TVOne, sekaligus General Manajer Divisi Pemberitaan, Totok Suryanto menyatakan bahwa tidak pernah ada rekayasa yang dilakukan dalam setiap pemberitaan.
Andreas Ronaldi mengaku menjadi oknum markus di Mabes Polri berdasarkan permintaan dari pihak pembawa acara televisi swasta yang berinisial IR dengan imbalan 1,5 juta rupiah. Andreas juga mengatakan bahwa keterangan yang ia berikan itu hanya untuk mengumpan Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana.
Dalam pemeriksaan, Andreas juga mengaku diminta berbicara soal markus sesuai skenario dengan pertanyaan dan jawaban yang disiapkan.
Kasus/permasalahan ini menjadi perbincangan banyak pihak, terutama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, masyarakat, dsb. Indy Rahmawati selaku produser TVOne dan presenter dalam acara tersebut dan segenap jajaran redaksi yang terkait dipanggil oleh Dewan Pers untuk memberikan keterangan.



Bab 2
Kode Etik Wartawan Indonesia, UU Penyiaran, dan Pedoman Pelaksanaan Penyiaran/Standar Program Siaran (P3/SPS)


Kasus TVOne tersebut melanggar Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan UU Penyiaran. Berikut ini akan saya jabarkan etika dan kebijakan perundang-undangan tersebut.

2.1 Kode Etik Wartawan Indonesia
• KEWI Butir 1: Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
• KEWI Butir 2: Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
• KEWI Butir 3: Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
• KEWI Butir 4: Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta,fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebut identitas korban kejahatan susila.
• KEWI Butir 5: Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi.
• KEWI Butir 6: Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
• KEWI Butir 7: Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

2.2 UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
• Pasal 36
1. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
2. Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
3. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
4. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
5. Isi siaran dilarang:
a. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. Menonjolkan unsure kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
6. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
• Pasal 57
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:
a. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
b. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
c. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
d. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
e. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).

2.3 P3/SPS
• Pasal 8:
1. Program faktual merujuk pada program siaran yang menyajikan fakta non-fiksi.
2. Yang termasuk di dalam program faktual adalah program berita, features, dokumentasi, program realitas (reality program/reality show), konsultasi on-air dengan mengundang narasumber dan atau penelepon, pembahasan masalah melalui diskusi, talk show, jajak pendapat, pidato/ceramah, program editorial, kuis, perlombaan, pertandingan olahraga, dan program-program sejenis lainnya.
• Pasal 9:
1. Lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan (imparsialitas).
2. Lembaga penyiaran wajib menggunakan Bahasa Indonesia yang baku, baik tertulis atau lisan, khususnya dalam program berita berbahasa Indonesia.


Bab 3
Analisis


Program Apa Kabar Indonesia Pagi 18 Maret 2010 yang menampilkan markus pajak “Roni” masih menjadi perdebatan. Butuh pembuktian lebih lanjut dan akurat mengenai benar tidaknya pengakuan Andreas Ronaldi tersebut. Dan, apabila terbukti bahwa narasumber markus pajak TVOne tersebut palsu, maka TVOne sebagai perusahaan pers telah melanggar KEWI dan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, serta P3/SPS. Berikut ini akan coba saya jabarkan pelanggran kode etik program TVOne tersebut berdasarkan perspektif etika-etika media tersebut.
Berdasarkan butir-butir KEWI tersebut, TVOne telah melakukan pelanggaran. Seorang wartawan (dalam hal ini orang yang menyajikan dan bertindak dalam penyajian program berita) seharusnya mematuhi dan melaksanakan KEWI. Dalam hal ini, TVOne terutama telah melanggar KEWI butir 1 dan 4, di mana disebutkan bahwa seorang wartawan harus melaporkan dan menyiarkan informasi secara faktual dan jelas sumbernya, tidak menyembunyikan fakta serta pendapat yang penting dan menarik yang perlu diketahui publik sebagai hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan akurat.
Terlihat jelas bahwa TVOne telah melanggar kode etik tersebut. Seorang wartawan professional pasti akan memegang teguh prinsip-prinsip (peraturan), berjalan dalam “koridor” yang benar dan tetntunya mengutamakan aspek kebenaran. Dapat dikatakan bahwa wartawan TVOne telah membohongi masyarakat dengan melakukan penipuan terhadap karya/program jurnalistik yang mereka buat. Hal ini erat kaitannya dengan aspek/ideology kepentingan yang diangkat (diutamakan) oleh TVOne, menutupi aspek etika profesi seorang wartawan.
Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran KEWI sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers. Mereka yang bertanggung jawab terhadap KEWI adalah:
- Dewan Pers
- Perusahaan Pers
- Ombudsman
- Wartawan
- Masyarakat pembaca
- Organisasi perusahaan pers
- Organisasi wartawan
TVOne sebagai perusahaan pers dan khususnya TVOne sebagai “perkumpulan” wartawan telah gagal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan KEWI dengan tampilnya Andreas Ronaldi sebagai markus pajak palsu.
Dilihat berdasarkan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, siaran program Apa Kabar Indonesia Pagi tersebut telah melanggar UU Penyiaran pasal 36 pasal 5A. Isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan bohong. Produk jurnalistik berupa siaran di televisi merupakan hasil akhir dari proses yang melibatkan reporter, kameraman, editor gambar, produser, pembawa acara, produser eksekutif, hingga pimpinan perusahaan media massa. Isi/format dari sebuah siaran merupakan hasil kebijakan dari berbagai “tangan” produk. Dan tentunya, pemilik atau pimpinan perusahaan memiliki kewenangan tertinggi dalam menentukan isi siaran. Inilah yang menjadi penelitian Dewan Pers dan KPI dalam menelaah kasus markus pajak antara TVOne dan Mabes Polri.
Dalam pemeriksaan, Andreas mengaku diminta berbicara soal markus sesuai scenario dengna pertanyaan dan jawaban yang disiapkan. Pengakuan ini sangat memberatkan TVOne sebagai sebuah institusi media. Apabila pengakuan Andreas terbukti benar, maka isi siaran Apa Kabar Indonesia Pagi adalah fitnah dan bohong adanya. TVOne harus dapat mempertanggungjawabkan dan menjelaskan kepada Dewan Pers perihal tersebut, terlebih kepada masyarakat yang sudah dibohongi dan disesatkan. Sebagai sanksinya, lengkap tertulis dalam pasal 57 (d) mengenai hukuman pidana penjara dan denda yang harus dibayar apabila melanggar pasal 36 ayat 5.
Selain itu, berdasarkan P3/SPS tayangan TVOne tersebut juga melanggar standar penyiaran Indonesia. Program Apa Kabar Indonesia Pagi adalah program faktual. Lembaga penyiaran dalam hal ini TVOne harus menyajikan informasi dalam program faktual dengan menerapkan selalu prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan. Keakuratan dan kebenaran senantiasa menjadi syarat mutlak dalam etika penyiaran dan produk jurnalistik.


Bab 4
Kesimpulan


Ketatnya persaingan dunia pertelevisian membuat kredibilitas media dipertaruhkan. Independensi, kualitas, dan kebenaran suatu program/produk jurnalistik menjadi bahan yang kerapkali diacuhkan dalam pembuatan suatu karya. Penyimpangan isi siaran seringkali terjadi. Keluar jalur akibat berbagai kepentingan yang mendasari dan melingkupi suatu standar professional media.
TVOne apabila terbukti melakukan kebohongan markus pajak palsu, maka ia melanggar tiga etika permediaan Indonesia, yakni KEWI, UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, dan P3/SPS. Etika penyiaran, standar siaran, serta kode etik wartawan tidak diterapkan oleh TVOne.
Butuh penelitan lebih lanjut bagi Dewan Pers untuk melihat benar tidaknya TVOne dalam kasus ini. Perlu diberikan tindakan dan sanksi yang tegas bagi stasiun televisi milik Aburizal Bakrie ini apabila terbukti melakukan pelanggaran etika. Hal ini tidak hanya dilihat dalam jangka pendek, namun juga jangka panjang. Bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap etika, hukum, dan kebijakan media di Indonesia yang semakin hari kian menipis.

Christina Dewi - 07120110019

PELANGGARAN FILM KARTUN ANAK-ANAK
Bab I
Pendahuluan

Seiring perkembangan zaman, media kini semakin maju pesat. Kebebasan media membuat kita memiliki banyak pilihan untuk ditonton dan dilihat. Begitu juga dengan film anak-anak. Film kartun, misalnya, yang selalu identik dengan anak-anak.

Film Kartun, siapa yang tidak suka? Anak-anak menyukainya, bahkan mengidolakannya. Tema yang lucu, menarik, kreatif, dapat menghibur mereka. Kartun seperti doraemon, Crayon Sinchan, Tom and Jerry, dan sejenisnya, seharusnya dapat dijadikan contoh yang baik bagi perkembangan anak-anak, karena sering ditonton oleh mereka, dan memang film kartun target audiensnya adalah anak-anak.

Namun, kenyataannya, seperti yang kita lihat, film kartun bukanlah seperti film anak-anak seharusnya. Kebanyakan dari kartun-kartun ini, menayangkan adegan-adegan yang sebenarnya tidak pantas diperlihatkan kepada anak-anak. Kekerasan, kata-kata kasar, sikap yang “terlalu dewasa”, dsb, sering mewarnai film-film kartun yang tayang di televisi kita.


BAB II

Beberapa pasal dari Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran (P3 Sps), yang berkaitan dengan pelanggaran penayangan film kartun:

•Pasal 13 ayat 1:
“Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan penggunaan bahasa atau kata-kata makian yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama dan Tuhan”

•Pasal 13 ayat 2
“Kata-kata kasar dan makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah, baik yang diungkapkan secara verbal maupun verbal”

•Pasal 28 ayat 4
“Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari”.


Bab III

Berdasarkan pasal-pasal di atas, film-film kartun seperti, Tom and Jerry, Crayon Sinchan, Doraemon, dan lain-lain, tentu saja melanggar.

Seperti dalam kartun Tom and Jerry. Dalam tayangan tersebut, sering kali menggambarkan adegan Tom (kucing) yang bertengkar dengan Jerry (tikus). Adegan kejar-kejaran itu diwarnai dengan adegan memukul satu sama lain, dengan menggunakan barang-barang yang ada disekitar mereka. Adegan ini menggambarkan seolah-olah wajar saja jika bertengkar disertai dengan memukul dengan benda-benda keras, seperti panci, tongkat, sapu, dan sejenisnya.

Seperti dalam film Crayon Sinchan. Dalam tayangan ini, tokoh sinchan digambarkan sebagai anak-anak, namun sering kali ia bertindak atau berpikir layaknya orang dewasa. Tokoh sinchan juga sering kali menggambarkan adegan yang “menyerempet” dengan adegan cinta-cintaan yang seharusnya dilarang dalam tayangan anak-anak. Tokoh sinchan yang sering tidak mengikuti kata-kata orang tuanya, juga dapat memberikan gambaran negatif terhadap anak-anak yang menontonnya. Ditambah lagi, orang tua ataupun bahkan si tokoh sinchan sendiri, beberapa kali menggunakan kata-kata kasar ataupun kata yang tidak pantas untuk dikatakan kepada anak-anak.

Tayangan kartun Doraemon, tayang favorit sepanjang masa. Namun, ternyata dalam tayangan ini, sebenarnya juga bahaya bagi anak-anak. Doraemon digambarkan sebagai kucing dari masa depan yang memiliki kantong ajaib, dengan berbagai macam benda ajaib di dalamnya. Hal ini dapat memberikan imajinasi yang bahaya bagi anak-anak, terutama bagi mereka yang masih belum mengerti bahwa hal-hal dalam film ini hanya imajinasi, dan tidak ada dalam kenyataan.

Film kartun yang identik dengan film anak-anak, seharusnya dapat memberikan nila-nilai positif bagi mereka, agar dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tayangan-tayangan di atas, tidak perlu dihilangkan, karena kartun-kartun tersebut adalah kartun yang disukai anak-anak. Hanya saja, mungkin dapat dikurangi isinya, atau diganti atau disensor, pada adegan-adegan yang kurang pantas diperlihatkan pada anak-anak, seperti ketika adegan kekerasan, adegan dewasa, adegan kata-kata kasar, dsb.

Anak-anak masih dalam tahap pertumbuhan, apa yang dilihatnya akan dengan mudah ditirukan, seolah-olah hal itu lazim dalam kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, orang tua harus selalu mendampingi anak-anaknya ketika menonton tayangan-tayangan di televisi. Diharapkan, dengan mendampingi, orang tua dapat sambil mengajarkan mana yang baik mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak boleh dilakukan. Apalagi, saat ini media sudah semakin bebas. Akan berbahaya jika anak-anak dibebaskan sendiri. Banyak tayangan yang tidak “disaring” terlebih dahulu, sehingga adegan kekerasan, kata kasar, dsb, bisa tayang ditelevisi.

Anastasia Dwiagma - 07120110017

Biasanya, saat ujian berlangsung setiap mahasiswa dihadapkan pada situasi tegang, stress, dan sesekali mereka melihat kanan kiri untuk melihat jawaban yang ada pada kertas milik temannya. Tapi tidak terlihat situasi ini pada ujian tengah semester kemarin di mata kuliah Etika, Hukum, dan Kebijakan Media. Ujian mata kuliah ini benar-benar menyenangkan. Fun. Kami tidak merasakan ketegangan sedikit pun. Bahkan dosen kami pun memperbolehkan kami untuk berdiskusi.

Itulah keunikan yang dibuat oleh dosen kami, Mas Bimo. Dosen bernama lengkap, Bimo Nugroho ini membuat atmosfer baru dalam belajar. Mahasiswa yang diatur duduk melingkar, dan mas bimo pun meminta salah satu dari kami membuat buku kenangan jurnal 07 yang berisikan foto-foto kami dan nama panggilan kami masing-masing. Mungkin tujuan dosen kami, agar bisa lebih akrab dengan kami. Dan dosen saya ini, tidak memandang kami sebagai mahasiswa yang harus mengikuti setiap peraturan yang ada, dia membiarkan menjadi diri kami disetiap diskusi yang ada, tidak menekan argumen kami dan menghormati setiap jawaban yang kami keluarkan.

(Icha)

Pendahuluan

Sejak jaman reformasi, media massa di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Masyarakat menyambut gembira kebebasan media massa yang sebelumnya terbelenggu, tidak bebas, berubah menjadi bebas sehingga masyarakat menjadi punya banyak pilihan untuk membeli media massa cetak, menonton televisi, mengakses internet, mendengar radio dll.

Semua media berusaha menampilkan acaranya semenarik mungkin. Dan saling bersaing satu sama lain. Semuanya ingin berkembang, ingin meraih keuntungan besar sehingga segala macam cara dilakukan untuk bisa unggul mendapatkan pelanggan, pemirsa maupun pendengar.

Namun sayangnya akibat terlalu bebas tersebut dan persaingan pasar yang begitu kuat, maka banyak hal yang dimanfaatkan oleh media massa untuk mendapatkan tujuan tersebut. Semua hal yang berpotensi menghasilkan keuntungan dan bisa diunggulkan dalam persaingan dimanfaatkan dengan baik. Salah satunya adalah adegan kekerasan. Terkadang adegan kekerasan menjadi suatu hal yang dijual oleh media massa terutama televisi. Konflik dirasakan tidak cukup menarik dan tidak menjual apabila tidak disertai dengan makian atau kekerasan fisik. Atau suatu berita dibuat menjadi lebih menarik dengan ditampilkannya adegan kekerasan atau bersimbah darah tanpa adanya penyensoran.

Hal seperti ini bisa menimbulkan efek negatif kepada masyarakat terutama anak-anak. Bahkan kartun yang notabene adalah tayangan untuk anak-anak banyak yang mengandung adegan kekerasan. Dan hal semacam ini termasuk sudah melanggar undang-undang yang mengatur mengenai isi siaran di Indonesia.


Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), mengenai kekerasan verbal dan non verbal:

Pasal 13 ayat 1

Bunyinya, “Lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan penggunaan bahasa atau kata-kata makian yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama dan Tuhan”

Pasal 13 ayat 2

Berbunyi, “kata-kata kasar dan makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah, baik yang diungkapkan secara verbal maupun verbal”

Pasal 28 ayat 3

Bunyinya, “Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis”.

Pasal 28 ayat 4

Bunyinya, “Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari”.


Beberapa tayangan yang menurut KPI telah melanggar pasal-pasal di atas antara lain, reality show, sinetron, talkshow, berita dan kartun.

*Reality show:

Face to Face (ANTV), Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI)

Reality show yang ada di Indonesia dianggap telah mempertontonkan adegan kekerasan berupa verbal maupun tindakan. Serta membuka aib seseorang kepada khalayak luas. Pada tayangan Face to face, orang yang merasa sisi privasinya telah terganggu atau merasa tidak terima sudah diikuti kesehariannya biasanya akan menjadi marah dan bereaksi dengan cara memaki-maki atau berkata-kata kasar, bahkan tidak jarang terjadi adu fisik antara kru/klien dengan si objek. Hal ini menjadi sesuatu yang dimanfaatkan oleh produser untuk membuat tayangannya lebih menarik. Seolah-olah hal tersebut nyata terjadi dengan mempertontonkan adegan kekerasan tersebut. Padahal yang kita tahu selama ini, tayangan reality show di Indonesia sebagian besar adalah fiktif.

Sedangkan pada tayangan Masihkah Kau Mencintaiku, kebanyakan di setiap acaranya kerap terjadi adegan adu makian antara kedua belah pihak keluarga, yang merasa tidak terima telah dibongkar rahasianya, lalu berusaha menutupi dengan berkilah dan saling memaki.

*Sinetron:

Muslimah (Indosiar), Suami-suami Takut Istri (Trans TV), Abdel dan Temon (Global TV), Para Pencari Tuhan (SCTV)

Sinetron dianggap paling banyak berisi adegan kekerasan, baik verbal maupun non verbal. Kekerasan dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa dilakukan di keseharian.
Sinetron Muslimah dianggap menyalahi aturan karena menampilkan adegan kekerasan verbal dan fisik. Apabila ada yang bersalah langsung dimaki-maki dan diganjar dengan hukuman fisik, seperti ditendang, dipukul, dll.

Sedangkan sitkom Suami-suami Takut Istri diberi teguran KPI karena tidak memperhatikan norma-norma kesopanan dan kesusilaan dalam konteks hubungan suami istri. Selain juga menampilkan adegan kekerasan dalam rumah tangga dan mengucapkan kata-kata kasar secara dominan.

Sinetron Abdel dan Temon dinilai KPI menyiarkan tayangan yang mengandung adegan dan pembicaraan vulgar serta kekerasan fisik secara berulang-ulang. Sementara objek penderita hanya pasrah dan terima diperlakukan seperti itu. Malah dianggap sebagai humor dan sesuatu yang menyenangkan sehingga dilakukan berulang-ulang.

SCTV lewat sinetron `Para Pencari Tuhan`, dalam salah satu adegan saat sang pemeran ketua RW bernama `Idrus` sering mengumpat dengan kata-kata kasar. Dan adegan itu ternyata dilakukan berulang-ulang. Hal tersebut dirasa tidak sesuai dengan citra sebagai ketua RW yang seharusnya menjadi panutan malah memberikan contoh yang sangat buruk.


*Kartun

Tom n Jerry (Trans 7), Detective Conan (Indosiar), Naruto (Global TV)

Bukan hanya tayangan orang dewasa, tayangan anak-anak ternyata juga banyak yang mengandung kekerasan. Film animasi tersebut memuat materi yang tidak sesuai dengan sasaran penontonnya yaitu anak-anak. Muatan kekerasan yang eksplisit, berlebihan, dan temanya tidak sesuai dengan dunia anak-anak. Misalnya Detective Conan banyak mempertontonkan adegan kekerasan, darah, dan sebagainya. Dan terlebih melibatkan anak kecil, dan menempatkan anak-anak kecil di situasi yang tidak selayaknya dan sangat berbahaya.

Tom n Jerry, banyak sekali pertengkaran yang diwarnai dengan adegan kekerasan, terlebih lagi memakai alat-alat yang ada di sekitar lingkungan rumah, dan dipertontonkan akibat yang dialami objek penderita tidak seberapa besar. Sehingga memicu anak-anak untuk menirunya tanpa mengetahui akibat sebenarnya apabila hal itu dilakukan secara nyata.

Naruto juga mempertontonkan adegan kekerasan dan banyak memperlihatkan kebencian terhadap suatu kelompok tertentu. Hampir di setiap adegannya berisikan pertempuran, darah, dll. Serta beberapa tokoh yang ada digambarkan terlalu vulgar dalam berpakaian. Dan tanyangan kartun tersebut sampai saat ini masih ditayangkan seperti biasa.

*Talkshow

Empat Mata (Trans7)

Tayangan talkshow Empat Mata tidak lepas dari adegan kekerasan. Hal ini berkaitan dengan tema yang dihadirkan setiap episodenya. Ini merupakan akibat dari kecerobohan tim kreatif Empat Mata yang pada episode tayang 29 Oktober 2008 lalu menghadirkan bintang tamu manusia pemakan mayat Sumanto. Di tayangan tersebut ditampilkan tayangan demo bintang tamu yang memakan seekor binatang hidup-hidup. Dan terlebih pada episode tersebut ditayangkan secara live. Tak hanya melanggar pasal di atas, tayangan episode Sumanto tersebut juga melanggar Pasal 36 UU Penyiaran yang berbunyi, “Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mendorong atau mengajarkan tindakan kekerasan atau penyiksaan terhadap binatang”. Tayangan ini sempat vakum beberapa saat karena dilarang oleh KPI. Namun akhirnya tayang kembali dengan mengganti nama menjadi ‘Bukan Empat Mata’ dan tidak lagi ditayangkan secara live.

Berita:

Hampir di semua stasiun televisi kini sangat terbuka dalam menyiarkan berita, terlebih pada berita yang mengandung kekerasan. Misalnya pada saat bentrokan yang terjadi di Koja kemarin. Tanpa sensor televisi menyiarkan adegan dimana massa sedang memukuli oknum satpol PP ataupun juga sebaliknya. Atau misalnya memunculkan nama tersangka kejahatan, meskipun belum ditentukan bersalah atau tidak, namun seperti sudah di hakimi sendiri bahwa ia seseorang yang bersalah. Atau dalam kasus penggerebekan teroris. Dimana adegan tembak menembak sampai tembak mati disiarkan tanpa adanya sensor. Bahkan mayat teroris juga disiarkan walaupun masih dalam kondisi terkapar tidak berdaya dan bersimbah darah.