Bab I
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk bebas dan sangat kreatif. Namun demikian, kreativitas itu seringkali bertabrakan dengan hak orang lain dan justr malah merugikan orang lain tersebut. Oleh karenanya, dalam hidup ini selalu ada hal yang bernama peraturan. Peraturan ada untuk menertibkan dan membuat hal-hal yang ada di dunia ini menjadi lebih teratur.
Tak hanya berlaku untuk manusia, namun segala hal yang diproduksi oleh manusia itu pun membutuhkan peraturan. Termasuk dalam hal ini siaran televisi. siaran televisi di Indonesia kebanyakan merupakan siaran publik sehingga dapat dinikmati oleh semua pengguna televisi. Hal tersebut menyebabkan segala konten yang diberikan oleh stasiun televisi dapat sinikmati secara bebas oleh mereka. Padahal dapat kita lihat banyak dari konten tersebut yang tak layak untuk dikonsumsi oleh audiens televisi karena audiens belum cukup umur atau konten tersebut terlalu banyak mendekandensi moral. Menjawab hal tersebut, maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membentuk peraturan yang mengatur penyiaran media siar bernama Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Hanya saja, peraturan tersebut tak sepenuhnya ditaati oleh pelaku media siar. Bagaimana tidak dapat kita lihat dalam tayangan-tayangan televisi pada saat prime time yang notabene dapat ditonton oleh segala usia ditayangkan film-film komedi slapstick yang kasar dan tidak mendidik. Padahal sudah tercantum dalam Standar Program Siaran bahwa hal-hal seperti kekerasan, pelecehan terhadap kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kekurangan fisik tidak diperbolehkan.
Namun, mengapa hal seperti itu kerap terjadi dalam dunia pertelevisian Indonesia? Bahkan stasiun-stasiun televisi berbondong-bondong membuat acara bertipe serupa karena pada kenyataannya acara seperti itu disukai oleh pemirsa televisi. Rating tayangan seperti Opera van Java pun tak kalah bagus dengan sinetron-sinetron di jam yang sama.
Apakah peraturan seperti P3SPS di Indonesia memang dibuat untuk dilanggar? Atau memang beginilah wajah pertelevisian Indonesia?
Bab II
LANDASAN TEORI
1PPeraturan Komisi Penyiaran nomor 03/P/KPI/12/2009 tentang Standar Program Siaran
Pasal 15
Ayat 1
Program siaran tidak boleh melecehkan, menghina, atau merendahkan kelompok masyarakat minoritas dan marginal, seperti:
(bkelompok yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, seperti: waria, laki-laki yang keperempuan-perempuanan, atau perempuan yang kelaki-lakian;
(d) kelompok yang memiliki ukuran dan bentuk fisik di luar normal, seperti: gemuk, cebol, memiliki gigi tonggos, atau mata juling;
(e) kelompok yang memiliki cacat fisik, seperti: buta, tuli, atau bisu;
(g) kelompok pengidap penyakit tertentu, seperti: HIV/AIDS, kusta, epilepsi, alzheimer, atau latah.
Ayat 2
Dalam menyiarkan program siaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilarang:
(a) mengandung muatan yang dapat menimbulkan atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok tersebut;
(b) menjadikan kelompok-kelompok tersebut sebagai bahan olok-olok atau tertawaan; dan/atau
(c) mengeksploitasi kelompok-kelompok tersebut untuk mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan bagi lembaga penyiarantanpa memikirkan dampak buruk bagi pemirsa.
Pasal 26
Ayat 1
Program siaran dilarang membenatkan kekerasan atau sadisme sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
Ayat 3
Adegan kekerasan dan sadisme yang dilarang adalah sebagai berikut:
(b) menampilkan adegan penyiksaan secara close up dengan atautanpa alat (pentungan/pemukul, setrum, benda tajam) secara nyata, terkesan sadis dan membuat pemirsa menjadi ngeri, seperti menusuk dengan pisau, jarum, atau benda lain, sehingga darah menyembur dan mengeluarkan isi tubuh, serta menembak dari dekat.
Pasal 27
Ayat 1
Program siaran dilarang menggunakan kata-kata kasar dan makian baik diungkapkan secara verbal maupun non-verbal yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama dan Tuhan.
BAB III
ANALISIS
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang suka bermain (homo ludens). Mereka denang untuk menikmati hidup mereka dengan kegembiraan dan keceriaan. Hal ini salah satunya tercermin dalam tayangan televisi yang ada di Indonesia saat ini. Film komedi dan lawak akhir-akhir ini terlihat mengisi acara prime time di televisi. Padahal sebagaimana kita ketahui, acara-acara yang ada di jam-jam tersebut merupakan acara-acara unggulan yang berguna untuk menarik penonton untuk menyaksikan acara yang ditayangkan stasiun televisi.
Namun sayang, kecenderungan acara komedi televisi akhir-akhir ini agaknya tidak lagi menaati apa yang telah tertulis dalam Standar Program Penyiaran. Seakan-akan demi mengejar target rating yang baik, pekerja televisi tak lagi mengindahkan kaidah-kaidah yang telah tercantum dalam peraturan tersebut.
Sebut saja judul sebuah acara yang tengah naik daun tahun 2010 ini, Opera van Java yang ditayangkan Trans 7 setiap Senin-Jumat pukul 20.00 WIB. Acara ini mengedepankan pertunjukan wayang yang diperankan oleh manusia. Opera van Java salah satunya digawangi oleh Parto yang berperan sebagai seorang dalang yang mempunyai wewenang untuk mengatur alur cerita di setiap adegan. Sedangkan para pemain yang bertindak sebagai wayang, harus menuruti semua perintah yang diucapkan oleh dalang, oleh karena itu, para pemain dituntut untuk melakukan improvisasi adegan dan dialog dengan cepat. Dalam tayangan ini, lur ceritanya yang hanya diketahui oleh sang dalang, sehingga reaksi dan aksi spontan para pemain Opera Van Java ini akan mengalir dengan sendirinya.
Lalu, apa yang salah dari komedi Opera van Java ini? Salah satunya adalah karena Opera van Java menghadirkan Azis Gagap sebagai salah satu pemainnya. Telah tertuang dalam Standar Program Penyiaran Pasal 15 ayat (1) butir (g) bahwa “program siaran tidak boleh melecehkan, menghina, atau merendahkan kelompok masyarakat minoritas dan marginal, seperti: kelompok pengidap penyakit tertentu, seperti: HIV/AIDS, kusta, epilepsi, alzheimer, atau latah.”
Azis Gagap sesuai nama panggungnya merupakan seorang penderita gagap. Gagap merupakan penyakit bawaan di mana seseorang tidak dapat berkomunikasi dengan baik karena kesulitan dalam mengartikulasikan kata. Oleh karena itulah, sebagai seorang entertainer Azis tidak diizinkan untuk dieksploitasi kegagapannya. Hal tersebut juga tercantum dalam SPS pada pasal 15 ayat (2) butir (b) bahwa dalam menyiarkan program siaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilarang menjadikan kelompok-kelompok tersebut sebagai bahan olok-olok atau tertawaan.
Hal ini jelas-jelas dilanggar oleh Opera van Java karena menjadikan Azis sebagai bahan tertawaan di setiap episodenya. Sebagai contoh dalam episode Drunken Master yang ditayangkan 5 Maret 2009[1]. Sejak menit 3:27, Azis ditampilkan sebagai sosok yang tersiksa. Dan dari kegagapannya itu serta siksaan yang ia terima, ia menjadi bahan tertawaan pemirsa televisi (menit 4:08 saat Azis menanyakan di mana ia bisa isi ulang air). Bagaimana tidak OVJ dikatakan sebagai tayangan yang tak melanggar peraturan SPS?
Selain itu, pada awalnya, Opera van Java pun menampilkan sosok Olga Syahputra sebagai personel tetap sebelum pada akhirnya ia pindah ke acara bergenre sama di ANTV (Seger Bener). Olga merupakan artis yang diasosiasikan sebagai laki-laki yang berperilaku seperti perempuan. Dalam hal ini, Olga pun kerap kali menunjukkan hal seperti itu. Lihat saja di episode Drunken Master mulai menit ke-2:44-2:54. Di tayangan tersebut terlihat Olga melakukan gerakan goyang ngebor yang menjadi trade-mark penyanyi dangdut Inul Daratista yang merupakan seorang perempuan.
Berdasarkan SPS pasal 15 ayat (1) butir (b), dikatakan bahwa program siaran tidak boleh melecehkan, menghina, atau merendahkan kelompok masyarakat minoritas dan marginal, seperti: kelompok yang kerap dianggap memiliki penyimpangan, seperti: waria, laki-laki yang keperempuan-perempuanan, atau perempuan yang kelaki-lakian.
Olga merupakan salah satu di dalamnya. Dengan menampilkan Olga dalam frame demikian, maka tayangan OVJ telah melakukan pelecehan dengan sengaja terhadap kaum pria yang berperilaku seperti wanita.
Selain itu, seperti yang dikatakan ayat (2) butir (b) dalam pasal yang sama, orang-orang seperti Olga tidaklah pantas dieksploitasi untuk menjadi bahan tertawaan dan hiburan orang lain. Dengan menampilkan sosok Olga dan Azis Gagap, maka OVJ telah berkontribusi untuk membuat audiens memandang orang-orang yang kebetulan berperilaku seperti Olga (pria yang berperilaku seperti wanita) dan memiliki kekurangan fisik seperti Azis merupakan orang-orang yang lucu dan pantas ditertawakan, karena tak dapat disangkal salah satu fungsi media massa pada dasarnya adalah alat pendidik masyarakat[2]. Jadi, jika audiens melihat bahwa di televisi orang-orang seperti Azis dan Olga patut ditertawakan karena kekurangannya, maka jangan salah jika melihat audiens mudah untuk menertawakan orang-orang dengan kekurangan yang sama.
Namun jangan terburu-buru mengadili OVJ sebagai komedi “tak bermoral” yang hanya mengandalkan kelemahan pemain-pemainnya. Di stasiun televisi lain pun ada tayangan yang serupa. Sebut saja tayangan 3 Mas Ketir yang tayang di Global TV yang tayang setiap Senin dan Selasa pukul 19.00.
Tayangan ini bahkan tanpa malu-malu mengedepankan kesulitan ketiga orang cacat dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-harinya. Si Buta, Si Tuli, dan Si Gagap. Kelucuan yang diakibatkan oleh cacat fisik ketiga pelaku utama tersebut jelas-jelas terlihat dalam episode yang ditayangkan Senin, 29 Maret 2010[3]. Dalam episode ini terlihat adanya ketidaksinkronan antara pertanyaan yang dilontarkan Ricky Harun (yang berperan sebagai si Buta) dengan jawaban yang diberikan Desta (sebagai si Tuli) ketika Ricky Harun menanyakan soal jam berapa saat ini. Teman mereka yang gagu pun akhirnya menerjemahkan perkataan Ricky Harun.
Tayangan 3 Mas Ketir tidak hanya mengeksploitasi dan merendahkan cacat fisik orang buta, tuli, dan gagap secara non-verbal saja (implisit). Pelaku utama itu pun terlihat mengatai pelaku lainnya berdasarkan keurangan fisiknya. Dalam episode tersebut detik ke-33, Desta mengatai Ricky Harun secara eksplisit saat Ricky Harun menanyainya perihal jam. “Lo udah tau buta kok pake jam, sih?” Agaknya hal tersebut pun melanggar SPS pasal 27 ayat (1) yang berbunyi Program siaran dilarang menggunakan kata-kata kasar dan makian baik diungkapkan secara verbal maupun non-verbal yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama dan Tuhan.
Jelas-jelas mengatai orang buta tidak boleh memakai jam tangan merupakan sebuah tindakan penghinaan. Bukankah memakai jam tangan adalah hak semua umat manusia baik ia dapat melihat ataupun tidak?
Dengan demikian jelas bahwa tayangan 3 Mas Ketir juga berkontribusi selain merendahkan kaum minoritas yang memiliki cacat fisik juga mengajarkan bahwa mereka yang memiliki cacat fisik seperti buta tak pantas memakai jam tangan.
Tak hanya penghinaan bagi kaum marginal dan minoritas, kekerasan pun menjadi sajian utama dalam tayangan komedi. Sebut saja Seger Bener (ANTV, dan (lagi-lagi) Opera van Java. Lihat saja dalam Seger Bener episode 7 April 2010[4]. Pada detik ke-32, terlihat salah satu personil The Virgin mendorong Olga ke jembatan styrofoam hingga styrofoam itu pecah. Sedangkan, dalam OVJ episode Drunken Master terlihat bagaimana Olha melempari Azis dengan tong styrofoam (menit ke 4:43).
Properti dari styrofoam memang digunakan agar komedi slapstick kasar macam ini untuk mendukung “kelucuan” para pemain ketika ada adegan saling pukul dan saling hantam dengan benda yang menyertainya. Namun adegan kekerasan itu tidak berbahaya karena jenis barang yang digunakan untuk memukul dibuat dari bahan Styrofoam. Hal itu ditegaskan pula oleh Kariaman Gultom, Staf Set Dan Property Divisi Technical Production Dan Service Trans 7 yang diwawancarai oleh Poskota[5].
“Bahan itu sangat tidak berbahaya karena mudah patah, tipis dan enteng. Jadi ketika mereka melakukan adegan pemukulan juga tak akan melukai tubuh.”
Hanya saja, walaupun tidak menggunakan benda asli untuk melakukan aksi saling lempar dan memecahkan properti, tetap saja melakukan hal tersebut menjadi pelumrahan terhadap kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Dan jelas hal tersebut jadi melanggar peraturan SPS pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan program siaran dilarang membenarkan kekerasan atau sadisme sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan tak mungkin jika anak-anak yang belum bisa membedakan antara kenyataan dengan tayangan fiktif yang mereka tonton di televisi melakukan hal yang serupa. Jadi, mengapa harus tetap dipertahankan kelucuan yang mengedepankan kekerasan seperti itu?
Tidak dapat dipungkiri, ketiga tayangan komedi tersebut merupakan bagian kecil dari tayangan komedi yang disukai saat ini. Hal ini menjadi potret waja pertelevisian Indonesia di mana demi mengejar rating dan pemasukan yang tinggi dari pengiklan, stasiun-stasiun televisi rela untuk mengesampingkan amanat media massa yang paling luhur dan pula tercantum dalam SPS pasal 3 butir (b) di mana SPS ditetapkan agar masyarakat mendapat manfaat yang sebesar-besarnya dari program siaran. Mereka tak lagi peduli mengenai keempat fungsi media massa sebagaimana yang dikatakan oleh Pareno[6], sebagai “fungsi penyalur informasi, fungsi mendidik, fungsi menghibur, dan fungsi mempengaruhi”. Nampaknya fungsi hiburan semi mendapat pemasukan sebanyak-banyaknya lebih diperhatikan ketimbang fungsi pendidikan dan pemberian informasi walau sebenarnya keempat fungsi tersebut tidaklah bisa dipisahkan satu sama lain.
Mereka lebih berusaha untuk mengedepankan hiburan berbasis hal “buruk” seperti penghinaan, pelecehan, dan kekerasan di atas informasi yang berguna bagi masyarakat demi mengejar pemasukan. Jadi, jika film komedi Indonesia tetap seperti ini di manakah letak kelucuannya? Tayangan komedi tersebut akhirnya menjadi ironi tersendiri karena ketidakmampuannya melontarkan celetuk-celetuk cerdas di masa maju seperti sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar