Rabu, 05 Mei 2010

Kasus Indy Rahmawati Terkait Kode Etik Jurnalistik (Abenk)

PENDAHULUAN

Kita dapat melihat bahwa media massa berkembang pesat saat ini. Perkembangan media massa yang sedemikian pesatnya membuat kompetisi antar masing-masing media menjadi ketat. Setiap media berambisi untuk menjadi yang terdepan dan tercepat dalam mengabarkan sebuah peristiwa. Sehingga dengan mudahnya media melemparkan isu kepada masyarakat agar masyarakat mau mengikuti terus perkembangan berita tersebut. Media berusaha mencari news maker dan sesegera mungkin menjadi yang pertama dalam memberitakannya.

Persaingan yang sedemikian ketatnya terkadang harus mengorbankan beberapa hal. Sebagai contoh, karena media massa saat ini banyak maka media cenderung mengutamakan kecepatan dalam menyampaikan berita ketimbang keakuratan dari berita tersebut. Media seakan-akan tidak melakukan check and recheck ketika melontarkan sebuah berita. Hasilnya, berita yang disampaikan tadi menjadi salah kaprah. Contohnya peristiwa penggerebekkan di Temanggung, salah satu stasiun televisi mengklaim bahwa teroris di dalam rumah yang digerebek tersebut adalah Noordin M. Top, buronan teroris yang paling dicari, namun ternyata bukan.

Padahal dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ)dikatakan bahwa berita haruslah akurat, faktual dan objektif. KEJ dibuat untuk menjadi pedoman moral bagi para jurnalis untuk melakukan kegiatan kewartawanan. Pada tulisan ini saya akan membahas mengenai kasus yang menimpa Indy Rahmawati, presenter sekaligus produser Apa Kabar Indonesia (pagi). Indy dituduh telah melakukan pembohongan publik dengan mendatangkan makelar kasus palsu, Andris Ronaldi.

MASALAH

Pada tulisan ini, saya mencoba membahas masalah Indy Rahmawati, produser sekaligus presenter acara Apa Kabar Indonesia di TV One. Indy dituding telah menghadirkan makelar kasus (markus) palsu dalam acara tersebut.

Dalam acara yang disiarkan secara live oleh TV One, 18 maret 2010, TV One menghadirkan seorang narasumber, Andris Ronaldi, yang mengaku sebagai makelar kasus dalam diri Kepolisian Indonesia. Kemudian pihak kepolisian mencari Andris dan setelah diperiksa ternyata Andris adalah markus palsu.

    Kamis, 08/04/2010 23:14 WIB
    Kasus Markus Palsu di TVOne
    Indy Rahmawati: Saya Tidak Sekotor Itu
    Anwar Khumaini - detikNews

    Jakarta - Presenter Apa Kabar Indonesia Pagi di TVOne Indy Rahmawati (IR) dituduh Mabes Polri menayangkan makelar kasus (markus) palsu, Andris Ronaldi. Atas tuduhan ini, Indy dengan tegas membantahnya.

    Bantahan Indy tersebut diposting dalam Twitter yang diposting oleh salah satu rekan Indy Rahmawati, Apni Jaya Putra. Apni adalah karyawan RCTI yang saat ini diperbantukan di SUN TV.

    "Bang Apni tau lah, ga mungkin aku merekayasa markus palsu, or bikin skenario. Gak sekotor itu aku, bang!" demikian bunyi SMS Indy yang diposting di Twitter, Kamis (8/4/2010).

    Indy Rahmawati hingga saat ini belum bisa dimintai konfirmasi. Detikcom yang mengirim pesan singkat untuk meminta konfirmasi belum dibalas.

    Di akun Twitternya, Indy terakhir kali menulis status 'Dear problems, my GOD is greater than you'. Tulisan tersebut diposting satu jam yang lalu, saat detikcom membukanya sekitar pukul 23.10 WIB.

    Di kalangan koleganya, Indy dikenal sebagai wartawan yang tangguh dan pekerja keras. Indy bukanlah tipe presenter yang genit dan tidak bertingkah bak diva. "Meski Indy kian meroket popularitasnya, Indy tetap low profile. Jarang mengeluh. Integritasnya tinggi. Saat anaknya sakit pun Indy tetap membereskan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab," tutur salah seorang koleganya.

    Untuk diketahui, Mabes Polri mengadukan presenter Indy Rahmawati ke Dewan Pers atas dugaan merekayasa pemberitaan markus. Markus yang diwawancarai Indi ternyata adalah seorang tenaga lepas di media hiburan, Andris Ronaldi. Andris mengaku dibayar Rp 1,5 juta untuk tampil di acara Apa Kabar Indonesia di TV0ne. (anw/ndr)

Dari artikel berita di atas, disebutkan bahwa Indy tidak punya niat melakukan tindakan pemalsuan. Namun, hasil pemeriksaan polisi tidak senada dengan apa yang diutarakan Indy. Menurut polisi, setelah melakukan pemeriksaan, Andris adalah markus palsu. Di dalam artikel yang ditulis wartawan Detik News di atas, Andris juga mengaku telah dibayar untuk tampil dalam acara Apa Kabar Indonesia.

Pihak kepolisian kemudian mengadukan perkara ini kepada Dewan Pers agar masalah ini diusut tuntas. Polisi menilai bahwa TV One telah melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) dan melanggar Undang-Undang Pers sehingga perlu mendapat sanksi. Sedangkan dari pihak TV One menampis dugaan tersebut, sebab apa yang ditudingkan oleh pihak kepolisian tidaklah benar.

    Perwakilan TVOne Datangai Dewan Pers

    Senin, 12 April 2010 16:31 WIB

    JAKARTA--MI: Ketua Dewan Pers Bagir Manan di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih Jakarta, Senin (12/4) menerima kru TVOne untuk mengklarifikasi terkait tuduhan kepolisian bahwa televisi itu melakukan rekayasa pada siaran dengan topik makelar kasus (markus) pada 18 Maret 2010.

    Bagir Manan didampingi sejumlah anggota Dewan Pers, antara lain, Uni Zulfiani Lubis, Agus Sudibyo, Wina Armada, Bekti Nugroho dan M Ridho Eisy. Sedangkan dari TVOne, antara lain hadir, presenter Indi Rahmawati, Produser Eksekutif Alfito Deanofa dan General Manager News&Sports Totok Suryanto.

    Pertemuan berlangsung tertutup dan dijanjikan adanya keterangan pers setelah pertemuan. Pertemuan ini atas inisiatif Dewan Pers setelah pada pekan lalu menerima delegasi dari Mabes Polri.

    Kepolisian telah menangkap dan menetapkan Andris Ronaldi sebagai tersangka kasus rekayasa makelar kasus pada acara yang diselenggarakan televisi itu. Saat itu, Indi Rahmawati memandu acara tersebut.

    Dalam keterangan kepada polisi, Andris mengungkapkan, TVOne telah memaksanya untuk menjadi seseorang yang berprofesi sebagai markus, padahal sebelumnya disepakati bahwa topik pembahasannya adalah mengenai PJTKI. Andris mengaku disodori naskah oleh TVOne dan dirinya hanya menyampaikan atau membacakan sesuai naskah yang disodorkan.

    Namun TVOne menyatakan, tidak merekayasa narasumber. "Tidak masuk akal, kami menyiapkan naskah berupa pertanyaan dan jawaban. Kami tidak sembarangan menetapkan narasumber," kata Alfito.

    Totok menyatakan, pihaknya tidak pernah melakukan rekayasa. Pengelola stasiun televisi telah beberapa kali menayangkan Andris Ronaldi dalam kaitan makelar kasus. TVOne juga sudah melakukan verifikasi sehingga yakin bahwa Andris benar-benar markus. (Ant/OL-06)

Jika kita melihat berita di atas, kedua belah pihak saling membenarkan diri atas tindakan yang telah mereka lakukan. Di sini peran Dewan Pers sangat signifikan guna menyelesaikan perkara tersebut. TV One sebagai institusi media haruslah tunduk pada Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers. Apabila terbukti melanggar, Dewan Pers berhak memberikan Sanksi. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, saya mencoba melihat dan menganalisi mengenai perkara ini dilihat dari Kode Etik Jurnalistik.

ANALISIS

Sebelum masuk ke dalam analisis, saya teringat akan sebuah tulisan yang pernah saya baca yang tertulis di Kompasiana. Tulisan tersebut ditulis oleh seorang wartawan dalam menanggapi kasus Indy Rahmawati ini. Dalam Tulisan tersebut dikatakan bahwa kasus Indy (jika memang benar melakukan pemalsuan) mirip dengan sebuah kasus klasik yang cukup populer yakni kasus Janet Cooke.

Cooke yang nama lengkapnya Janet Leslie Cooke adalah wartawati yang dinyatakan sebagai pemenang hadiah bergengsi Pulitzer tahun 1981. Cooke menulis laporan fiktif berjudul Jimmy’s World, yakni kisah seorang anak berusia delapan tahun yang digambarkan Cooke sebagai pecandu kokain atau obat bius. Tulisannya dimuat di koran bergengsi The Washington Post, 29 September 1980.

Cooke menggambarkan tokoh Jimmy sebagai anak kecil yang kulitnya penuh cacahan jarum suntik kokain. Tulisan itu sedemikian menggetarkan banyak pembaca, yang kemudian jatuh simpati kepada Jimmy, termasuk walikota Washington saat itu. Sang walikota meminta polisi mencari dan menjemput Jimmy untuk sebuah pengobatan, tetapi polisi gagal menemukan Jimmy, karena Jimmy hanya tokoh rekaan Cooke semata.

Akibat tindakan yang telah dilakukan oleh Cooke tersebut, maka ia harus mengembalikan hadiah Pulitzer kepada panitia dan mengaku terus terang kalau dirinya sudah merekayasa narasumber untuk membuat laporan fiktif. Cooke telah merekayasa seakan-akan Jimmy adalah nyata, padahal fiktif belaka!

Sekali lagi, andai apa yang dilakukan Indy adalah kebohongan publik dengan memanipulasi narasumber, rasanya apa yang dilakukannya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Cooke, meski dengan cara yang sedikit berbeda.

Gambaran soal kasus yang menimpa Janet Cooke ini hampir mirip dengan kasus yang terjadi dengan Indy Rahmawati. Cooke memanipulasi berita dengan menciptakan tokoh fiktif karangannya agar tulisannya dibaca dan menjadi pokok perbincangan banyak orang. Terbukti, sebelum diketahui bahwa apa yang ditulis oleh Cooke adalah palsu, tulisannya ini mendapat sorotan dari banyak pihak termasuk walikota Washington bahkan sampai mendapat hadiah Pulitzer. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah Indy melakukan hal yang serupa? Menghadirkan sebuah kebohongan dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dan untuk mendongkrak rating?

Menurut saya, kejadian ini tidak bisa sepenuhnya menjadi tanggung jawab Indy Rahmawati. Sebagai sebuah institusi berita seharusnya TV One juga terlibat dan ikut bertanggung jawab. Indy hanyalah bagian dari korporasi media tersebut. Jadi tuduhan bukan semata-mata ditujukan kepada Indy seorang saja.

Saya tidak berniat untuk menyalahkan atau bahkan menuduh Indy maupun TV One telah melakukan penipuan. Akan tetapi saya hanya mencoba melihat dan menganalisis, terlepas dari perkara benar atau salah. Sebagai seorang wartawan, saya rasa Indy paham betul mengenai Kode Etik Jurnalistik (KEJ)dan Undang-Undang Pers (UU Pers) yang ada di Indonesia. Kita sadari bahwa keberadaan KEJ sangat penting untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar. Oleh sebab itu wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Di dalam KEJ terdapat sejumlah pasal yang telah dibuat untuk dijadikan sebagai pedoman. Sekarang kita berandai-andai, apa bila Indy dan TV One terbukti bersalah karena telah melakukan sebuah kebohongan, tentunya dia telah melanggar KEJ. Beberapa pasal yang mungkin dilanggar antara lain:

    1. Pasal 1

      Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

      Kaitannya dengan kasus:

      Jika terbukti bahwa TV One melakukan pemalsuan, TV One dinilai tidak akurat dalam membuat pemberitaan. Menurut pendapat saya, ketika TV One mengundang markus (Andris) hari dalam acara Apa Kabar Indonesia, TV One dan Indy selaku salah satu produser tidak menghadirkan pihak kepolisian sebagai pengkonfirmasi. Sehingga pemberitaan kali itu dinilai tidak berimbang, cover both side. Selain itu, tentunya TV One sebagai institusi media sadar bahwa tidak boleh merugikan pihak lain.

    1. Pasal 2

      Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

      Kaitannya dengan kasus:

      Dalam penafsiran pada pasal 2 ini disebutkan bahwa tidak boleh dilakukan penyuapan. Namun, dalam sejumlah pemberitaan, salah satunya berita yang ditulis pada bab masalah di atas, dikatakan bahwa Andris menerima suap dari pihak TV One. Kembali lagi, jika terbukti terdapat kasus suap menyuap, tentunya telah melanggar pasal 2 dalam KEJ ini.

    1. Pasal 4

      Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

      Kaitannya dengan kasus:

      Jika hasil penulusuran yang dilakukan oleh Dewan Pers membuktikan bahwa TV One bersalah karena telah memberitakan sesuatu yang palsu, maka TV One telah melanggar pasal ini, karena telah membuat berita bohong.

    1. Pasal 10

      Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

      Kaitannya dengan kasus:

      Jika memang keliru atau merugikan pihak lain, sekiranya TV One meralat berita dan menyampaikan permohonan maaf.

    1. Pasal 11

      Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

      Kaitannya dengan kasus:

      Ketika pemberitaan tersebut salah, sekiranya TV One memberikan kesempatan kepada pihak yang dirugikan untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Serta membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Untuk mengetahui hasil akhir, biarkanlah Dewan Pers melakukan tugasnya untuk mengusut dan mencari kebenarannya. Perkara yang menimpa TV One dan Indy Rahmawati ini baiknya diselesaikan menurut Kode Etik Jurnalistik, bukan melalui proses hukum pidana. Dewan Pers memiliki kekuasaan penuh dalam menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.

Demi memperoleh rating yang baik bukan berarti kita harus mengorbankan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang berlaku. KEJ ada untuk ditaati dan dijadikan sebagai sebuah pedoman moral dalam melakukan tugas sebagai jurnalis. Kesalahan seperti kasus di atas sekiranya bisa kita jadikan sebagai sebuah pelajaran agar masalah seperti ini tidak terjadi lagi dikemudian hari. Keakuratan kemudian menjadi salah satu bagian penting dalam menyampaikan sebuah berita. Kredibilitas seorang jurnalis dan institusi media tersebut menjadi taruhan dan tentunya sangat peka. Perlu waktu yang lama untuk menciptakan kredibilitas yang baik dan tentunya perlu dijaga. Membentuk sesuatu yang baik dan mempertahankannya adalah sebuah pekerjaan yang sulit. Sedangkan dengan waktu singkat sebuah kredibilitas itu dapat hancur. Ketika sebuah kredibilitas dipegang teguh dengan sendirinya orang akan percaya.

Pelanggaran terhadap KEJ, memang, hanyalah menimbulkan konsekuensi moral, bukan konsekuensi hukum. Akan tetapi, setiap wartawan yang menyadari pentingnya memelihara martabat profesi kewartawanan justru akan berupaya untuk tidak melanggar kode etik dalam pekerjaan jurnalistiknya.

Setiap wartawan profesional mengetahui bahwa sedikitnya ada empat pelanggaran kode etik yang dapat dikenai sanksi moral yang sangat berat, yaitu keharusan bagi wartawan tersebut untuk meninggalkan pekerjaan jurnalistik untuk selama-lamanya, keempat pelanggaran itu adalah:

    • Melakukan plagiat atau penjiplakan
    • Membuat berita yang diketahuinya bohong, tetapi disiarkan seolah-olah benar
    • Menerima suap untuk memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu
    • Mengungkapkan identitas narasumber yang dapat membahayakan keselamatan narasumber dan keluarganya.

Sanksi di atas adalah sanksi yang harus diterima jika terbukti telah melakukan kesalahan seperti yang diuraikan di atas. Untuk kasus Indy dan TV One sanksi belum bisa dijatuhkan karena belum ada keputusan pasti, sebab perkara ini masih dalam pengusutan yang dilakukan oleh Dewan Pers.

1 komentar:

  1. "Hi!..
    Greetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
    visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
    Ejurnalism

    BalasHapus