Seperti biasanya, mata ini kembali selalu terjaga, tidak sedikit pun bisa dipejamkan. Bagaikan ada sesuatu yang melekat di mata ini.
Insomnia. Ya, mungkin aku menderita insomnia di mana tubuh ini tertidur, tetapi jiwa ini tak mengantuk. Mulut ini menguap, tetapi mata tetap terbuka. Rasanya seperti tertidur dengan muka selalu menatap apa yang ada di langit-langit.
Lalu, apa yang bisa kulakukan untuk mengatasi penyakit ini?
Tugas? Ya, mungkin aku bisa mengerjakan tugas kuliah. Kuingat ada tugas untuk menulis sebuah jurnal, bukan diary (terlalu perempuan menyebut catatan harian sebagai diary).
Semestinya aku selalu ingat bahwa seoarang mahasiswa tak mungkin lepas dari tugas. Apapun harinya, baik itu suka maupun duka, pasti ada setumpuk tugas yang dengan setia menunggu dan tergeletak di atas meja. Cukup mengesalkan, tetapi di satu sisi cukup menantang dan setidaknya efektif melawan insomnia ini.
Etika
Jam sudah menunjukkan pukul 2.16 AM. Pertanda ini sudah terlalu pagi untuk menulis sebuah jurnal. Tetapi, apa boleh buat. Pada kisaran jam ini lah otak baru bekerja maksimal.
Tema jurnal kali ini adalah etika.
Kenapa etika? Hal ini ada hubungannya dengan salah satu kelas di Multimedia Nusantara University. Tepatnya, kuliah etika di media. Sebuah kelas yang “menangani” etika, peraturan, norma, adat, dan hukum yang sudah sepantasnya dipatuhi jika saya dan anda adalah praktisi di bidang media.
Sebenarnya, apakah etika itu?
Secara etimologis, etika berasal dari kata ethos dan ta etha yang berati adat kebiasaan, akhlak, watak, dan sikap. Namun, oleh filsuf aristoteles, etika diperluas tidak hanya sekedar pada ada, akhlak, dan watak. Etika beliau gunakan sebagai dasar dari filsafat moral mengenai apa yang dianggap salah dan benar.
Seiring berjalannya waktu, etika akhirnya diyakini sebagai bagian dari studio aksiologi, nilai. Memang, etika kerat kaitannya dengan praksis, namun di balik setiap tindakan tentu ada nilai yang digenggam. Nilai itulah yang dibahas oleh etika. Apakah nilai itu benar atau salah, baik atau buruk serta hitam atau putih.
Lalu, apa kaitannya etika dengan media massa?
Tidak jauh berdiri dari pengertiannya, etika media membahas bagaimana seharusnya media masaa bersikap dalam menjalankan tugasnya, melayani masyarakat.
Seperti yang anda tahu (dan saya tahu tentunya), media ada untuk melayani masyarakat dalam bentuk penyajian informasi. Info yang ingin dan perlu diketahui. Namun, tidak sembarang info bisa diberikan kepada masyarakat. Tidak sembarang info bisa digunakan media. Ada batas-batas norma yang harus dipatuhi.
Sebagai contoh, tidak seharusnya media menunjukkan gambaran orang terluka parah. Hal itu disebabkan karena tidak semua pengkonsumsi media “pantas” melihat pemandangan mengerikan tersebut.
Memang,hak media untuk bebas berekspresi itu boleh dan wajib ada. Namun, perlu diingat, dalam sejarah manusia, tidak pernah ada satu pihak selalu bisa menerima hak orang lain. Pasti ada situasi paradoksal nantinya
Oleh karenanya, dibutuhkan sebuah (sistem) etika yang a bisa memandu media untuk menarik garis jelas antara baik dan buruk, benar dan salah, serta hitam dan putih. Media, selayaknya kita, butuh panduan bersikap, berpikir, dan berperilaku.
Sesungguhnya, ketika mendengar kata etika, kata hipokrit acap terlintas di kepala saya.
Cukup aneh, tetapi bisa diterima. Karena media sekarang memang cenderung seperti itu, munafik.
Di Indonesia, media dan jurnalisnya, acap kali meneriakkan apa yang disebut sebagai etika media. Mereka mengaku beretika, baik di kepala maupun di hati. Namun, apakah kenyataannya seperti itu? Tidak seindah itu.
Banyak media yang munafik. Mereka berkata etika mereka puja. Namun, dibaliknya, ternyata mereka justru mencoba meminimalisir etika tersebut. Untuk apa? Salah satunya untuk profit motive.
Profit motive memang menjadi momok tersendiri di dunia ini. Siapa yang tidak menginginkan profit? . Baik kita maupun mereka butuh (ingin) profit dari apa yang dikerjakan. Namun, apakah sampai harus menjual kemampuan beretika? Seharusnya tidak dan hal tersebut hanya bisa berubah kecuali ada niat dari diri sendiri.
Selain etika, idealisme juga kerap dijadikan korban. Mereka lepas idealisme mereka dan memilih untuk “mengais” kepada pemegang kekuasaan atau sumber keuntungan. Sekali lagi demi profit motive.
Jangan katakan padaku bahwa mereka tidak punya “pilihan”. Kita semua punya pilihan. Mereka juga punya pilihan (yang lebih baik). Namun, tidak kumengerti ketika mereka lebih memilih bersikap seperti “lintah” dibanding sebaliknya, memberi keuntungan pada masyarakat.
Kuharap diriku tidak menjadi seperti mereka. Mereka yang hipokrit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar