Rabu, 28 April 2010
Shirley Tamara-07120110021
Claudy Isabella-07120110037
Bermain-main dengan Etika, Hukum, dan Kebijakan Media
Kamis kala itu, langit bersih. Tak ada satu pun awan yang menodai mega. Matahari bersinar terik di luar gedung kampus. Segera aku menyendokkan suapan nasi goreng terakhirku, menyambar botol air mineral sahabatku, Engge, dan menenggak isinya. Seusai membayar, sambil terbirit kami berlari menuju gedung megah di tengah hamparan tanah gersang Gading, Serpong. Kami bergegas menuju lantai dua. Tepat di depan kelas, kulongokkan kepalaku ke dalamnya. Tatapanku menyapu seisi kelas. Hampir separuh kelas sudah terisi oleh mahasiswa lainnya. Segera, aku dan ‘partner in crime’ ku, Engge, menyerbu masuk. Aku menjejakkan tubuhku pada sebuah bangku yang sudah diatur membentuk lingkaran besar. Teringat pada memori masa taman kanak-kanak rasa-rasanya.
Ternyata tempat duduk kami berdekatan dengan sang dosen. Dan itu semakin membuatku merasa jengah mengikuti kelas mata kuliah kali ini. Malas saja aku berurusan dengan tetek bengek sebangsa etika lah, hukum lah, kebijakan lah. Aku bukan orang yang suka diatur. Semakin menjadi-lah keengananku pada kelas Kamis siang tersebut.
Berkacamata. Posturnya setinggi dad. Aku menerka, umurnya juga seumuran dad. Kemejanya rapi. Jam tangan ber-merk mengelung di tangannya. Hmmmm… dalam benakku, “ahh…. Pasti konvensional bin teoritis. Alamat virus boring menjangkitiku sepanjang hayat mengikuti kelas ini. Malesssss….”
Prosesi perkenalan pun dimulai. Namanya Bimo Nugroho. Seorang anggota KPI Pusat. Diminta langsung oleh sesepuh Kompas Gramedia alias si “empunya” kampus, Jakob Oetama, untuk memberikan kuliah mengenai etika, hukum media massa, dan kebijakan pada kami, anak-anak jurnalistik 2007. Wew… bukan orang sembarangan. Hatiku mulai menciut. Ow… ow… pikiran busukku mulai meracuni pandanganku terhadap sang dosen.
“Ahhhhhh pasti snobby. Pasti sok. Pasti belagu. Pasti pongah, angkuh, dan congkak, mirip si dosen XXX itu.”
Beragam pikiran negatif menyergap. Sejam berselang, runtuh semua pikiran beracunku terhadap si dosen. Ternyata tidak seperti itu. Rasa malu merambatiku, untung saja tak ada yang tahu. Pak Bimo tidak mengajar di depan kelas. Tidak juga memberikan pertanyaan-pertanyaan nyleneh khas dosen penganut paham konvensionalisme seperti yang lain. Pak Bimo hanya duduk santai bersender pada bangku yang sama, bangku mahasiswa. Dan beliau mulai “mendongeng” mengenai suatu isu yang tentu saja berhubungan dengan etika, hukum, dan kebijakan di media massa. Mendongeng! Bukan mengajar! Tapi sharing. B0erdiskusi. Ngobrol lumrahnya yang terjadi di warung kopi. Wow! Kelas apaan coba tuh!
Puncaknya, ujian tengah semester datang. Ujian yang seharusnya dimulai pukul satu siang, molor sampai jam setengah dua karena kesalahan teknis. Kemeja batik Keris berwarna ceria yang dipakainya, seolah “meneriakkan” good news. Dan ternyata benar saja. Kami berhak membuat soal sendiri ketika ujian, kami diperbolehkan berdiskusi selama ujian, kami boleh mengerjakan ujian di perpustakaan, sambil jalan-jalan, makan-makan, ngobrol-ngobrol, buka fesbuk, blablablablaaa… “Happy Mid Test a la Bimo Nugroho”. Melalui asuhan Bimo Nugroho, kami “bermain” dan “bersahabat” dengan etika, hukum, dan kebijakan media massa.
Pak Bimo justru 180 derajat dari yang kupikirkan awalnya. Beliau tidak mengajar melainkan bercerita. Menganggap kami sebagai rekan, bukan mahasiswa yang harus tunduk pada dosen. Bahkan Pak Bimo masih mengingat lemon tea pemberianku. Hahahaaaa… So humble of Bimo Nugroho, so nice with the “Etika, Hukum, dan Kebijakan Media Massa.”
Susan Maria-07120110036
Ketika Etika Tak Lagi Membosankan
Kesan pertama memang tak akan terlupakan. Sosok dosen berpakaian formal itu serentak menjadi pusat perhatian kami. Kemeja batik, celana bahan hitam, dan sepatu pantovel. Pembawaannya terlihat serius namun ramah. Eh.... jangan salah. Ternyata bapak ini asik juga. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Bimo Nugroho. Kami diminta memanggilnya Mas Bimo. Tapi kadang-kadang kami tetap memanggilnya bapak. Itu karena kami sudah terbiasa memanggil dosen lain dengan sebutan bapak.
Pertemuan pertama ini, kami dibuat bingung olehnya. Ia meminta kami duduk melingkar. Alasannya supaya kami tidak bosan dengan mata kuliah Etika, Hukum Media Massa, dan Kebijakan yang diampunya itu. Ia ingin mengubah cara pandang belajar etika yang dianggap sangat membosankan menjadi tidak membosankan. Kami pun duduk melingkar sesuai permintaannya.
Setelah perkenalan, Maria Goretti alias Retti jadi “tumbal” kali ini. Ia diminta membuat daftar nama anak-anak sekelas beserta dengan fotonya. Baginya, daftar nama temen-teman seperti itu bisa jadi channel menuju kesuksesan. Sayang bila teman-teman masa kuliah ini dilewatkan begitu saja.
Di akhir pertemuan pertama, ia menanyakan sesuatu yang menurut saya agak lucu. Mungkin pertanyaan ini tidak lazim ditanyakan oleh dosen-dosen lain. Ia bertanya mengenai aturan boleh tidaknya dosen menggunakan celana jeans. Kami serentak menjawab, “Boleh kok, Pak.” Pertanyaan ini agak aneh karena tidak pernah ada dosen yang meminta izin untuk menggunakan jeans saat mengajar. Biasanya mereka langsung saja pakai jeans. Dan itu sah-sah saja.
Minggu depannya, Pak Bimo masuk ke kelas dengan menggunakan celana jeans. Awalnya saya cukup kaget karena kesan awal Pak Bimo sangat formal, tapi ternyata bisa santai juga. Hehehehe.... Satu hal peraturan yang paling saya ingat kalau sedang di kelas yaitu kami boleh ngobrol dan berdiskusi tapi kalau ada teman yang berbicara, kami harus mendengarkan.
Setelah Retti, yang kena getahnya adalah Istman. Istman kena teguran dari Pak Bimo karena ia ngupil di kelas. Perbincangan mengenai insiden kecil tersebut berlanjut hingga ke Twitter.
Minggu-minggu berikutnya sudah mulai masuk pada pembahasan dan diskusi di kelas. Pembahasan dan diskusi ini melibatkan kasus-kasus yang sedang hangat seperti Pansus Century, Dulmatin, Aburizal Bakrie, kasus Luna Maya, penyiaran dan rating, peranan KPI dalam penyiaran di Indonesia selama ini, dll. Selain mendiskusikan kasus-kasus tersebut, kami juga dibekali dengan teori-teori seperti UU Pokok Pers, UU ITE, KEWI, P3 & SPS, dll.
Setiap topik akan diberikan gambaran umumnya oleh Pak Bimo lalu kami diminta menanggapi dan memberikan pendapat mengenai kasus tersebut. Contohnya saat kami membahas kasus Dulmatin. Yang menjadi pertanyaan dalam kasus ini adalah etis tidaknya sebuah stasiun televisi menampilkan gambar-gambar yang sadis dalam bentuk darah, mayat Dulmatin, dan senjata yang dipegangnya. Secara kode etik itu melanggar, tapi kenapa gambar-gambar seperti itu masih saja tetap ditampilkan? Untuk menjawab hal tersebut, kami pun membahasnya dengan berdiskusi. Hasil diskusi kami menyatakan bahwa semuanya itu semata-mata demi rating yang tinggi. Semakin kontroversi gambar yang ditayangkan, semakin banyak penontonnya. Nah, penonton itulah yang kemudian akan mendatangkan pendapatan dari pengiklan. Jadi, intinya sih UUD alias Ujung-Ujungnya Duit.
Selain itu, kami juga membahas mengenai apa-apa saja yang sudah dilanggar oleh stasiun televisi dan apa peran KPI dalam menanggapi hal tersebut. Misalnya saja program “Empat Mata” yang tidak diperkenankan untuk tayang lagi karena pernah menampilkan seorang narasumber yang memakan kodok hidup-hidup. Tindakan tersebut tidak etis bila ditampilkan di televisi. Oleh karena itulah, KPI melayangkan surat teguran sekaligus peringatan bagi program tersebut. Tak kehabisan akal, “Empat Mata” mengubah judul programnya menjadi “Bukan Empat Mata” agar dapat tayang kembali.
Di sela-sela diskusi kami yang cukup serius, kami sering dibuat tertawa gara-gara pintu kelas yang tidak bisa ditutup rapat. Pintu itu selalu saja bermasalah setiap minggunya. Sampai-sampai kami sempat mengadakan kompetisi kecil-kecilan siapa yang bisa menutup pintu itu. Tapi itu hanya sekedar main-main selingan saja.
Nah, suatu kali, Pak Bimo pernah membawa setumpuk buku yang tebal-tebal cocok untuk “alas tidur”. Ngeliatnya aja udah pusing, apalagi bacanya. Hahaha... Taunya buku itu memang dibawa buat kami pinjam dan kami baca. Isinya seputar regulasi penyiaran di Indonesia. Dan setelah buku itu diberikan kepada Istman, kami diberi tugas untuk membuat tulisan dalam bentuk makalah mengenai kasus-kasus yg terjadi terkait dengan regulasi penyiaran. Haduh-haduh... Cape deh....
Dua minggu sebelum UTS, kami membahas mengenai apa saja yang sudah dipelajari selama ini lalu membuat soal bersama yang menjadi kisi-kisi bersama juga. Baru kali ini ada dosen yang meminta mahasiswanya untuk membuat soal ujian. Ckckckck.....
Minggu terakhir malah tidak ada kelas. Pak Bimo memberikan waktu kepada kami untuk beristirahat sejenak. Saatnya refreshing sebelum UTS...
Saat UTS tiba.... Karena jeda yang lama antara ujian pertama dengan ujian kedua ini, jadi kami agak kebawa santai. Lalu ketika mendekati jam ujian, kami baru belajar bersama. Eh, ga lama Pak Bimo datang menghampiri kami di bawah tangga depan lift lantai 1. Kami ngobrol-ngobrol sebentar. Jarang loh ada dosen yang mau duduk bareng sama mahasiswa-mahaiswanya di bawah alias di lantai. Pak Bimo malah nawarin mau dibuka ga soalnya. Kami jelas menjawab, “Mau dong, Pak.” Eh, malah beneran dibuka.... dan ternyata..... soalnya salah. Awalnya kita ga ngerti kalau soalnya salah. Muka Pak Bimo berkerut lalu dia berkata, “Saya ga pernah bikin soal kaya gitu.” Benar saja soalnya salah. Itu soal Sosiologi Komunikasi tapi nama dosen di soalnya benar Pak Bimo. Ia bilang, “Kalau ga ada soalnya ya kita diskusi aja.” Kami seneng banget dengernya. Pak Bimo balik lagi ke BAAK terus dibenerin soalnya. Sudah lewat 15 menit, bapaknya baru nyamperin kita lagi di bawah tangga. Sampai di kelas, kami dikejutkan karena Pak Bimo bilang boleh open book dan boleh diskusi. Emang sih kami open book tapi yang lebih mengejutkan lagi, kami diperbolehkan diskusi. Itu pengalaman pertama merasakan ujian seperti itu. Teman-teman yang lain juga pada kaget. Bahkan boleh ngerjain di mana aja termasuk di perpus. Boleh searching internet pula. Tapi syaratnya sudah harus kumpul di kelas jam 15.30 karena kita mulai jam 13.30. Tanpa basa-basi, teman-teman langsung berpencar. Sebagian besar memilih ke perpus. Hanya tinggal kami berenam yang tinggal di kelas: Susan, Grace, Nita, Abenk, Devi, Steffi ditemani oleh Pak Bimo. Kami berenam duduk melingkar di tengah kelas. Awalnya kami berdiskusi tapi lama-lama kami serius sendiri.
Eh, tiba-tiba ada suara langkah kaki orang memakai sepatu hak. Dia mondar-mandir di depan kelas, sampe akhirnya dia mengetuk pintu kelas lalu membuka pintunya dengan wajah yang aneh dan curiga. Tatapan matanya nyolot banget kaya nyurigain kami gitu. Terus dia masuk, nanya sama Pak Bimo, “Pak ini open book?” Terus Pak Bimo jawab, “Iya.” Dia nanya lagi, ”Tapi ga boleh diskusi kan?” Dengan santai, Pak Bimo menjawab, “Boleh kok.” Terus mukanya berubah jadi aneh gitu. Setelah itu dia pergi. Tidak lama, dia datang lagi bersama Bu Hira dan Mbak Retha. Mereka membicarakan tentang soal yang salah. Kami hanya diam mendengarkan sambil menulis. Setelah mereka selesai, ibu yang baru itu malah melihat kami dengan pandangan seperti merendahkan kaya ngeliat “orang penyakitan”. Kami semua serentak membalas tatapannya dengan tatapan yang agak sinis juga mulai dari meja Pak Bimo sampai ke depan pintu. Lalu kami mengerjakan lagi. Beberapa saat sebelum batas waktu, teman-teman dari perpus datang. Mereka berlari karena takut telat mengumpulkan. Ada yang sampe ketinggalan kartu ujian, ada yang ketinggalan tas, dll. Setelah semuanya selesai mengumpulkan, kami malah memperbincangkan ibu-ibu tadi dengan serunya. Lucu sih ada staf baru yang ngeliatin kita kaya gitu. Dia aneh sama cara mengajar Pak Bimo. Jangankan dia yang baru, kami yang sudah setengah semester aja kaget ujian bisa open book sambil diskusi dan searching internet. Hahaha... Pengalaman yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Sempat deg-degan juga sih kalau ternyata tidak boleh open booksama BAAK. Takut ga bisa ngerjain. Hehehehe..... Tapi akhirnya UTS selesai juga dengan open book dan diskusinya. ^__^
Steffi Indrajana-07120110024
Kuliah, Kritis, Argumen, dan Melingkar
Pertemuan pertama begitu berkesan. Begitu masuk ke ruang kelas, seperti biasa kami bercanda-canda. Tak lama kemudian sesosok dosen, dengan menggunakan baju batik masuk ke dalam kelas. Dia pun meminta mahasiswa untuk duduk membentuk lingkaran. dengan patuh kita membereskan kursi dengan bentuk lingkaran.
Bisa dibilang ini pertama kali kami belajar sembari duduk melingkar. Ternyata asik juga duduk seperti ini, apalagi jika ingin berdiskusi. Yang tidak enak adalah aktivitas kita semua terlihat oleh dosen. Jadi susah kalau mau bermain telepon genggam, membaca buku, dan lain-lain. Hehehehehe.
Pertemuan pertama berlangsung dengan perkenalan diri masing-masing, termasuk Bapak. Maria Goretti terkena getahnya dengan disuruh membuat daftar nama kita disertai dengan foto masing-masing.
Tapi yang membuat kelas kita “heboh”, di ruang kelas maupun di dunia maya alias di twitter, adalah teguran Bapak ke Istman hahahaha.
Setelah itu, kelas kita banyak diisi oleh diskusi-diskusi mengenai kasus-kasus yang sedang terjadi sekarang, seperti kasus Bank Century dan Dulmatin.
Dalam pembahasan kasus Bank Century, kita mempertanyakan motif sebenarnya dari pembuatan Pansus untuk kasus Bank Century dan dari segi penayangan media. Dari segi pembuatan Pansus, kita mempertanyakan motifnya, apakah benar-benar mau mengetahui kebenaran dari kasus tersebut atau hanya bermotifkan politik dan balas dendam.
Dari diskusi, sebagian besar berpendapat kalau motifnya lebih ke politik balas dendam dari PKS dan Aburizal Bakrie. Dan tentu saja, posisi partai-partai untuk mendapatkan image yang bagus di masyarakat sebagai bekal untuk pemilu yang akan datang.
PKS dianggap balas dendam ke Boediono karena dia mengambil posisi Wapres yang semestinya untuk PKS. Bapak menanyakan alasan mengapa Boediono yang dipilih, berbagai alasan pun keluar, kebanyakan alasannya adalah karena dia ahli ekonomi. Tetapi, Bapak menambahkan ide baru, apakah mungkin Boediono dipilih karena dia dapat menyediakan dana untuk pemilu yang memang berasal dari Bank Century.
Sedangkan Aburizal Bakrie yang mempunyai posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan pemilik TV One dan Vivanews, mempunyai dendam pribadi kepada Sri Mulyani karena Sri Mulyani menolak untuk membantu beberapa perusahaan Bakrie.
Media massa menayangkannya terus menerus demi kepentingan rating. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan kasus yang sebenarnya, yang penting ada berita menarik (seperti Ruhut Sitompul membuat komentar-komentar “heboh”) dan disukai oleh masyarakat. Akhirnya pemberitaannya pun mulai menjauh dari kasus yang sebenarnya.
Dalam kasus Dulmatin, kita membahas mengenai alasan dibalik televisi menayangkan terorisme dan tayangan kasus Dulmatin. Kita tidak menjawab ketika ditanya pertanyaan yang pertama, kemudian Bapak menjelaskan. Salah satu alasannya adalah supaya ada legitimasi kalau membunuh teroris itu tidak apa-apa dan merupakan sesuatu yang baik. Juga menanamkan kalau teroris itu jahat dan sehingga boleh langsung dibunuh dan kita bersyukur karena itu. Supaya ada “ancaman” juga kepada masyarakat supaya tidak menjadi teroris, ada yang harus dibayar jika menjadi teroris.
Kalau kasus Dulmatin, yang dipertanyakan adalah etika media tv tersebut ketika memperlihatkan tayangan yang memperlihatkan darah teroris yang berceceran, mayat Dulmatin dan senjata yang dipegangnya. Menurut kami, hal tersebut dilakukan demi rating. Semakin menarik yang ditayangkan, maka penonton akan semakin banyak. Bagi penonton, mayat teroris dan drama pengejarannya sangat menarik, jadi media tv berbondong-bondong menanyangkan tayangan tersebut.
Selain dua kasus tersebut, kita juga pernah berdiskusi mengenai peran KPI, apakah sudah maksimal atau belum, apakah KPI mempunyai kekuatan untuk memberikan hukuman kepada media tv yang “nakal”.
Menurut kami, perannya belum maksimal karena masih banyak sinetron-sinetron tak bermutu yang tayang. Sebenarnya hal ini disebabkan karena ternyata KPI tidak mempunyai hak untuk memberikan hukuman yang berat kepada media tv tersebut.
Bapak juga pernah menjelaskan (bisa dibilang) sejarah media, dari yang masih tradisional ke yang sudah mengandalkan teknologi dan struktur dari undang-undang media. Dari yang tertinggi hingga ke yang (seperti sub) undang-undang.
Ujian mata kuliah ini, merupakan ujian yang sangat unik dan pertama kali saya alami. Kami boleh membuka buku, diskusi, dan mengerjakan di manapun yang kita mau asalkan kumpul tepat pada waktunya.
Saya setuju dengan ujian macam ini, bukan karena boleh diskusi jadi tidak perlu belajar. Dengan ujian semacam ini, mahasiswa tidak dituntut untuk menghapal pelajaran, tetapi memahami kasus dan berpikir kritis. Inilah yang dibutuhkan oleh mahasiswa dalam kehidupan nyata. Lagian, kalau boleh jujur, kita lebih mudah lupa jika hanya dihapal (malah, setelah ujian juga lupa). Kalau kita memahami, pasti lebih akan susah untuk dilupakan.
Secara umum, saya menyukai metode pengajaran dan ujian yang digunakan. Membantu kami (khususnya saya) untuk bisa berpikir lebih kritis, berani untuk mengatakannya di depan publik beserta argumen-argumen mengapa saya berkata seperti itu.
Bapak juga baik, mau mendengarkan apa pendapat kami. Tidak memaksa kami bahwa pendapat bapak adalah yang paling benar dan yang lainnya salah (soalnya ada dosen yang seperti itu). Oiya, Bapak juga rendah hati. Waktu itu mau duduk bareng kami di lantai, jarang banget dosen yang mau melakukan hal seperti itu.
Pendidikan di Indonesia harus diubah. Kalau sedari SD kita sudah terbiasa seperti ini, sumber daya manusianya juga pasti bertambah hebat. Karena tidak hanya menjadi kerbau yang ditarik saja (meminjam istilah Soe Hok Gie), tetapi berani untuk berpikir sendiri dan tentu saja dengan pertanggungjawaban.
Grace Natali-07120110023
Belajar Etika ala Pak Bimo
Pertama kali saya masuk kelas etika ini, saya cukup terkejut karena dosen saya, Pak Bimo Nugroho meminta kami untuk mengatur tempat duduk menjadi lingkaran. Hal ini dilakukan agar kelas tidak lagi kaku. Kami satu kelas diminta menjadi lebih rileks saat kegiatan belajar mengajar.
Dan, well it works.... Kami menjadi lebih rileks dalam belajar. Lagipula di kelas kami tidak hanya mendengarkan Pak Bimo mengajar. Ia mengatakan akan lebih banyak mengajar dengan cara tanya jawab. “Karena saya dan kalian sama. Belum tentu saya lebih pintar dari kalian. Hanya saja kebetulan saya belajar lebih dahulu dari kalian sehingga saya bisa di sini,” cetus Pak Bimo saat perkuliahan pertama.
Selain mengatur cara duduk di kelas, kami pun diminta untuk membuat sebuah buku seperti buku kenangan saat SMA yang berisi nama panggilan dan foto anak-anak satu kelas (Jurnalistik 2007). Retti pun diminta untuk menjadi perwakilan yang mengurus seluruh pengumpulan foto dan nama kami sekelas. Boleh dikatakan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh dosen lain untuk mengenal kami. Tapi, cara ini lumayan asyik dan menyenangkan karena melibatkan kami semua.
Minggu-minggu selanjutnya kelas Etika dan Regulasi Penyiaran dipenuhi oleh tanya jawab mengenai presentasi yang dilakukan oleh Pak Bimo maupun hal-hal yang saat itu sedang booming. Saya ingat di salah satu pertemuan kami, kami membicarakan mengenai etika yang ada di media penyiaran. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh media massa siar seperti televisi. Pelanggaran-pelanggaran tersebut pada akhirnya akan ditindaklanjuti oleh KPI (Komisi Penyiaran Indoensia), tempat kerja Pak Bimo.
KPI-lah yang menindaklanjuti siaran-siaran bandel tersebut. Salah satu siaran yang kami bahas adalah tayangan foto mayat Dulmatin yang di-close up secara berulang-ulang oleh stasiun TV One. Mereka terus-menerus menayangkan foto tersebut ketika menyiarkan berita mengenai benarkah bahwa yang tertembak di depan Multiplus, Pamulang merupakan Dulmatin yang selama ini memang menjadi salah seorang teroris yang dicari-cari.
Hal tersebut dibahas secara detail dan mendalam saat diskusi kelas. Bahwa TV One dalam menayagkan foto close-up wajah mayat merupakan hal yang tak etis. Sekiranya hal tersebut dalam diskusi kami disebutkan sebagai salah satu upaya televisi, khususnya televisi berita, untuk mendongkrak rating mereka. Dan hal tersebut telah mendapat teguran dari KPI. Hingga sekarang kita tak bisa lagi melihat tayangan foto tersebut karena telah dilarang oleh KPI.
Selain itu, kami juga pernah membahas mengenai kasus Bank Century yang hingga saat ini tak kunjung usai. Dari awal kasus itu muncul hingga pola-pola pemberitaannya di media televisi menjadi sorotan tersendiri dalam diskusi saat itu.
Masuk ke dalam pembahasan mengenai P3 dan SPS, kami membahas mengenai peraturan yang mengatur mengenai tayangan yang akan ditayangkan maupun tayangan yang telah tayang. Hal-hal seperti kekerasan, seksualitas, tidak mendapat tempat dan tak boleh tayang di televisi. Karena hal-hal tersebut dapat ditonton oleh umum, para pengguna televisi. Beda halnya jika tayangan tersebut ditampilkan dalam bioskop. Di bioskop, tayangan-tayangan seperti itu dapat ditayangkan karena menonton di bioskop merupakan pilihan masing-masing orang. Jika orang tersebut memang ingin menonton, maka ia membayar untuk menonton. Sedangkan jika program yang ditayangkan di televisi, tidak diketahui siapa yang menonton. Selain itu yang terpenting, program yang tayang di televisi menggunakan frekuensi di udara yang notabene milik publik.
Pada presentasi hari itu, kami juga membahas contoh-contoh kasus yang real memang terjadi di Indonesia. Contohnya antara lain saat rekaman sidang yang membahas apa saja yang dilakukan oleh tersangka mantan ketua KPK Antasari Azhar dan Rani lakukan di kamar hotel. Rekaman video itu diputar secara berulang-ulang dan tentu saja mengumbar kata-kata yang tak pantas didengar oleh semua orang terutama oleh anak-anak. Hanya saja hal tersebut dilakukan oleh TV One dan konsekuensinya mereka mendapat teguran dari KPI dan harus menarik tayangan mengenai rekaman video sidang tersebut.
Ternyata hal tersebut mengundang kontradiksi tersendiri karena pihak televisi menjadi salah paham dengan KPI. KPI dianggap tidak memperbolehkan pihak stasiun televisi untuk menayangkan persidangan. Untunglah hal tersebut telah diluruskan kembali. Yang tidak diperbolehkan adalah proses persidangan yang mengumbar kata-kata seksual yang bisa membangkitkan hasrat, bukan proses persidangan secara keseluruhan.
Selain itu, kami juga pernah membahas perkembangan teknologi yang telah berkembang dari analog hingga ke digital. Berbagai media kini telah mengalami yang namanya integrasi media. Media-media saat ini haruslah bergabung agar menjadi suatu kekuatan baru dan dapat bertahan menghadapi tuntutan zaman yang semakin kuat.
Selain itu, kami dalam kuliah-kuliah lainnya membahas mengenai regulasi penyiaran. Dan pada suatu hari, Pak Bimo membawakan setumpuk buku yang...,wow...banyak dan tebal. Saya sampai berpikir apakah akan sanggup untuk membaca buku setebal itu. Kebanyakan dari buku itu mengenai penyiaran dan sejarah media yang menunjang kami untuk mengerjakan ujian yang buat saya mengerikan.... Ujian Tengah Semester....
Untung saja Pak Bimo memberikan ide yang cemerlang untuk UTS kali ini. Ia memperbolehkan kami untuk memberikan ide-ide pertanyaan yang akan keluar saat ujian nanti. Pak Bimo menginginkan kami menghadapi ujian yang menegangkan dengan mengasyikkan. Make something scary become fun... Oleh karena itu, kami pun diperbolehkan untuk membawa buku sebanyak-banyaknya guna menjawab ujian yang open book ini. Yey...
Pada hari ujian, kami menunggu di depan lift sambil mencoba untuk membahas kira-kira apa yang akan keluar nantinya. Saat itulah Pak Bimo datang dan menghampiri kami. Ia iseng-iseng membuka amplop yang berisi soal ujian dan, voila... soal yang diberikan ternyata salah dan hal itu menyebabkan ujian kami mundur selama satu jam karena soal ujian milik Pak Bimo harus di-print ulang.
Saat ujian pun akhirnya dimulai pukul 15.30. Terlambat setengah jam. Kami kaget ternyata Pak Bimo memperbolehkan kami untuk berdiskusi saat ujian. Bahkan kami boleh mencari bahan untuk menjawab ujian Pak Bimo di internet maupun di perpustakaan. Sungguh ini adalah pengalaman pertama menjawab soal demikian. Hanya saja, walau kami memegang buku dan boleh berdiskusi, kami harus menjawab soal-soal yang ada dengan bahasa kami dan emikiran kami sendiri. Antara anak yang satu dan yang lain tak diperbolehkan ada jawaban satu kalimat pun yang sama.
Wow, pengalaman ujian yang menegangkan dan ya, menegangkan. Karena walau boleh ini dan itu, kami tetap memiliki batas waktu untuk mengumpulkan ujian kami. Lewat batas waktu tersebut kami tak dapat mengumpulkan ujian tersebut. Maka, dalam ujian kami tak banyak berdiskusi. Yang ada, justru kami hanya saling bertanya jika lupa sesuatu. Cara ini saya kira efektif jika ingin mengasah otak mahasiswa untuk berpikir kreatif dan mengeluarkan semua wawasan yang dimiliki mahasiswa dalam menjawab ujian.
Jadi, siapa bilang belajar etika dan regulasi penyiaran itu membosankan dan membuat ngantuk? Ternyata cara belajar mengajar yang disuguhkan Pak Bimo efektif dalam membuat belajar etika menjadi mengasyikkan....
Maria Goretti – 07120110002
Ketika mendengar nama mata kuliah etika, regulasi, dan kebijakan media; yang terbayang di pikiran saya adalah kuliah tentang teori moral dan etika serta hapalan tantang hukum di Indonesia yang mengatur dunia penyiaran. Membosankan dan kering. Bayangan saya tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar.
Pada pertemuan pertama, dosen kami, Bimo Nugroho, telah menerapkan metode tenpat duduk yang tidak lazim. Jika pada kuliah lain, mahasiswa pada umumnya duduk menghadap papan tulis dan dosen, pada mata kuliah ini kami duduk melingkar dengan dosen. Mas Bimo, begitu dosen kami biasa disapa, juga tidak melulu menjelaskan dari materi power point, tapi mengajak kami berdiskusi.
Dalam tiap pertemuan, mahasiswa selalu diajak untuk peka melihat kenyataan dalam dunia penyiaran Indonesia. Contohnya masalah yang dibahas adalah penayangan sinetron yang tidak mendidik, komedi mesum, film bioskop horror mesum, gambar mayat teroris yang frontal, dan sebaginya. Selama ini tayangan-tayangan tidak sehat tersebut bercokol dalam saluran televise dan bioskop kita, tapi saya merasa hanya menganggapnya sebagai angina lalu. Jika ada tayangan yang menurut saya melanggar nilai etika dan moral, saya hanya berkomentar pedas di rumah; tidak kritis dan tidak melihat ada apa di balik penayangan itu semua.
Dengan mata kuliah ini, saya merasa bisa lebih melihat suatu masalah di balik penayangan program atau film dengan lebih krits. Harapannya ke depan, jika kelak saya bekerja di instansi media, tanyang yang saya buat bisa mendidik dan bernilai positif, tidak hanya memenuhi selera pasar.
Aprianita Ganadi-07120110042
Sejuta Kejutan di Mata kuliah Etika, Regulasi, dan Kebijakan Media
Semester 6 ini kami jurusan Ilmu Komunikasi tahun 2007 dan angkatan pertama dari UMN mendapat mata kuliah etika, regulasi, & kebijakan media. Awalnya sesuai jadwal, mata kuliah ini ada pada hari Jumat. Namun, entah mengapa tiba-tiba ada pengumuman jika mata kuliah ini diganti menjadi hari Kamis dan untuk seterusnya.
Seperti biasa kami duduk di kelas sambil menunggu dosen. Tiba-tiba datang sesosok pria yang menggunakan baju batik dan celana jeans. Rupanya dia dosen mata kuliah ini. Namanya Pak Bimo, dia meminta kami duduk melingkar. Jujur awalnya kami terkejut. Karena kami tidak pernah kuliah dengan duduk melingkar dan saling berhadapan. Duduk seperti ini ada suka dan dukanya. Sukanya kami belajar duduk melingkar adalah suasana menjadi lebih akrab apalagi saat sedang diskusi. Dukanya dosen bisa melihat gerak gerik kami sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lain seperti memainkan telepon genggam, membaca buku, dll.
Pak Bimo mulai memperkenalkan dirinya. Dia adalah Orang KPI dan baru pertama kali ini mengajar. Dia menganggap bahwa antara dosen dan mahasiswa tidak ada jenjang. Oleh karena ini dia meminta kami untuk memanggil “ Mas Bimo”. Untuk mengingat mahasiswa berjumlah 23 anak tidaklah mudah. Untuk itu Pak Bimo menyuruh Retti untuk mengumpulkan foto dan nama kami lalu dijadikan kliping. Menurut saya cara ini sangat unik dan cukup efektif dengan begitu dosen bisa cepat menghafal nama mahasiswanya. Serta jika dosen ingin bertanya bisa langsung menyebut nama yang ada di kliping tersebut.
Minggu-minggu selanjutnya kelas Etika dan Regulasi Penyiaran dipenuhi oleh tanya jawab mengenai presentasi yang dilakukan oleh Pak Bimo. Saat itu seingat saya, Pak Bimo mulai membahas mengenai kasus yang sedang hangatnya dibicarakan di masyarakat. Seperti kasus mengenai Bank Century dan kasus mengenai tayangan foto jenazah teroris Dulmatin yang ditayangkan di TV. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh media massa siar seperti televisi. Pelanggaran-pelanggaran tersebut pada akhirnya akan ditindaklanjuti oleh KPI (Komisi Penyiaran Indoensia), tempat kerja Pak Bimo.
Saya ingat juga kata Pak Bimo, jika Inul melakukan goyangan sah-sah saja jika kameramen menggambil gambarnya. Yang tidak diperbolehkan adalah kameramen menggambil Close up bagian pantat Inul saat sedang goyang ngebornya. Sehingga layar TV penuh dengan pantat Inul, itu jelas sekali tidak diperbolehkan. Seterusnya kami lebih banyak belajar dan diskusi , jarang sekali kami belajar dan berpatokan pada buku.
Selanjutnya, sebelum kami UTS kami mempelajari P3 dan SPS, kami membahas mengenai peraturan yang mengatur mengenai tayangan yang akan ditayangkan maupun tayangan yang telah tayang. Kami mempelajari mengenai Peran Pers, Kode etik jurnalistik, Peran KPI, dll.
Seperti biasa menjelang Ujian Tengah Semester kami menanyakan kisi-kisi kepada Pak Bimo., Lagi- lagi kami dibuat terkejut olehnya. Karena soal dari ujian itu kami yang membuat. Ini baru pertama kali dalam sejarah selama kami kuliah di UMN. Akhirnya, kami tiap mahasiswa diwajibkan membuat satu soal dari materi yang sudah didiskusikan selama ini. Kemudian dipilih 10 soal dan akan dijadikan sebagai soal di UTS. Wow, ternyata membuat soal lebih sulit daripada menjawabnya. Itulah kesan kami saat diminta untuk membuat soal.
Akhirnya hari ujian tiba, kami membawa begitu banyak buku-buku karena ujiannya Open book. Ada kejadian lucu disini, saat 5 menit menjelang ujian dimulai Pak Bimo datang menghampiri kami dibawah tangga yang sedang duduk-duduk sambil belajar. Pak Bimo membawa soal yang masih disegel. Kami hanya iseng-iseng menyuruh Pak Bimo membuka dan melihat soalnya. Kami hanya bercanda, tetapi ternyata Pak Bimo menganggap serius. Didepan kami, Pak Bimo membuka dan membaca soal ujian padahal kami belum ada di ruang ujian.
Ternyata iseng-iseng kami ada gunanya juga. Setelah dibaca ternyata soalnya salah. Itu bukan soal UTS Etika , Regulasi, dan Kebijakan Media. Lagi-lagi kami terkejut Saya tidak tahu kejadian ini yang pertama kali terjadi di UMN atau tidak. Akhirnya Pak Bimo mengurus kebagian BAAK. Setelah waktu terbuang selama setengah jam kami sudah siap-siap dengan buku dan alat tulis serta duduk rapi sesuai no ujian.
Setelah soal dibagikan, kami lagi –lagi dan untuk kesekian kalinya terkejut. Karena Pak Bimo mengatakan bahwa ujiannya boleh diskusi dan boleh mengerjakan di Perpustakaan. Kejadian ini juga pertama kali kami alami semenjak ujian di UMN. Karena sebelumya tidak ada perbincangan boleh melakukan diskusi. Kami hanya mengetahui bahwa ujian ini open book. Kami diwajibkan mengerjakan 3 soal dan 2 soal yang tidak wajib.
Setelah sempat menjadi perbincangan di kelas kami langsung bergegas mengerjakan karena waktu hanya 2 jam. Soal yang ada rata-rata analisis. Menurut saya soal seperti ini merupakan soal yang tepat bagi mahasiswa. Karena tidak ada hapalan dan tidak ada jawaban benar atau salah. Jika analisis atau argument kita benar maka bisa mendapatkan poin. Cara seperti ini saya rasa juga efektif karena mahasiwa tidak perlu mengahafal. Biasanya mahasiswa yang belajar dengan menghafal apalagi dengan sistem kebut semalam akan cepat lupa.
Meski kami diperbolehkan melihat buku dan berdiskusi , akan tetapi jawaban kami tidak boleh sama. Jika ada yang sama maka nilainya 0. Bahkan kami tidak diperbolehkan mengutip buku secara keseluruhan . Jawaban kami harus benar-benar murni dengan menggunakan kata-kata sendiri. Menurut saya metode ini sangat tepat, meski kami boleh diskusi tetapi jawaban kami tidak boleh ada yang sama. Kami akhirnya mengerjakan juga sendiri-sendiri.
Saat sedang asik mengerjakan soal ujian, tiba-tiba bagian BAAK masuk. Dia terkejut melihat kami yang ujian dikelas hanya 6 orang karena yang lain berada di perpustakaan. Baginya ini suatu keanehan apalagi saat itu yang 6 orang duduk secara melingkar. Dia pun bertanya pada Pak Bimo, apakah ini ujian lalu boleh open book dan diskusi? Pak Bimo menjawab ya.
Sesaat kemudian bagian BAAK tersebut membawa temannya yang juga BAAK menghampiri Pak Bimo. Dari gerak-gerik mereka melihat kami rasanya ujian seperti ini dirasa sangat aneh. Ternyata yang dipermasalahkan adalah soal yang dilihat bagian BAAK jika ujian itu harusnya close book bukan Open Book. Namun, setelah mendapat penjelasan dari Pak Bimo bahwa soalnya yang salah. Soal yang seharusnya adalah memang open book.
Sepertinya mata kuliah lain boleh mencontoh metode pengajaran yang diterapkan oleh Pak Bimo. Siapa bilang yang namanya belajar itu harus duduk, mencatat, dan mendengarkan presentasi dosen. Siapa bilang yang namanya ujian harus menghafal teori-teori yang ada di buku. Yang ada setiap kali ujian, mahasiswa semakin tertekan. Pak Bimo yang pertama kali membuat kami merasakan ujian begitu menyenangkan. Banyak kejutan-kejutan yang saya alami mulai dari awal pembelajaran hingga Ujian Tengah Semester. Saya harapkan suasana ini terus dipertahankan hingga Ujian Akhir Semester nanti.
Merasa kagum dengan sosok Pak Bimo. Meski dia baru mengajar pertama kali namun metode pengajarannya sangat pas bagi Mahasiswa khususnya Mahasiswa Ilmu Komunikasi tahun 2007. Jika begini belajar etika menjadi sesuatu hal yang tidak membosankan.
Precilia Meirisa-07120110039
Kelas pertama dengan Mas Bimo pada siang itu tidak bisa saya ikuti karena saya sedang sakit. Jadi saya baru pertama kali ikut kelas pada pertemuan kedua. Di pertemuan kedua, saya cukup tertarik ikut kelas tersebut karena tidak seperti belajar pada kelas-kelas lainnya. Di mana biasanya cara belajar mengajarnya terlalu kaku dan membosankan. Namun berbeda di kelas Mas Bimo. Cara belajarnya sangat menyenangkan karena hanya seperti mengobrol biasa, duduknya pun dibuat melingkar. Namun dengan mengobrol seperti itu tetap bisa bertukar pikiran dan mendapat ilmu pengetahuan.
Yang membuat saya terkesan lagi adalah kemauan Mas Bimo untuk mengenal murid nya lebih dekat lagi. Misalnya ketika Mas Bimo meminta Retti untuk membuat daftar murid beserta foto dan nama panggilannya. Karena kebanyakan dosen mungkin hanya sekedar tahu akan nama-nama muridnya. Bahkan ada yang sama sekali tidak ingat akan nama-nama murid yang diajarnya. Itulah kesan-kesan pertama ketika pertama kali mengikuti kelas Mas Bimo.
Bila ditanya mengenai etika, hukum media massa dan kebijakan, jujur pada saat itu saya belum begitu paham mengenai hal tersebut. Yang pertama terpikir oleh saya hanya KPI, lalu peraturan-peraturan mengenai bagaimana sebuah media harus mengemas produk acara mereka, atau mengenai apa yang sebenarnya pantas atau tidak pantas suatu tayangan disiarkan kepada masyarakat. Hanya sebatas itu.
Di dalam mengikuti kelas etika ini saya mendapat cukup banyak tambahan informasi mengenai tayangan seperti apa yang seharusnya disiarkan kepada masyarakat. Atau contoh tayangan apa saja yang sudah melanggar etika bersiaran, dan peraturan apa yang sudah mereka langgar. Dengan metode berdiskusi dan mengobrol seperti ini justru saya mendapat banyak informasi terlebih mengenai pro kontra sebuah tayangan.
Misalkan saja pada kasus bagaimana sebuah tayangan berita tentang teroris disiarkan akhir-akhir ini. Pada awalnya saya sangat tidak setuju bila tayangan yang berisikan ‘kekerasan’ seperti itu menjadi eksklusif ditayangkan kepada masyarakat tanpa di sensor pada bagian-bagian tertentu. Namun pada saat diskusi tersebut justru saya juga mendapat informasi bahwa ada tujuan di balik tayangan itu. Yaitu dimungkinkan ada pertimbangan tertentu yang dilakukan oleh para stasiun televisi menyiarkan hal tersebut padahal sudah jelas hal tersebut melanggar kode etik penyiaran, yang sudah tertulis dalam Undang-undang Penyiaran yang menjadi acuan KPI.
Dan saya baru benar-benar menyadari akan hal tersebut ketika dibahas di dalam diskusi itu. Misalkan saja dengan tayangan tersebut disiaran begitu bebas, maka diharapkan akan mambuat tingkat terorisme di Indonesia bisa menurun. Karena sekarang para teroris sudah mengetahui ganjaran apa yang akan mereka terima bila mereka tetap melakukan aksi mereka, dengan melihat tayangan televisi tersebut.
Dan banyak hal lain yang diceritakan Mas Bimo sehingga menambah pengetahuan saya mengenai etika penyiaran. Terlebih memang Mas Bimo adalah seorang praktisi yang terjun langsung di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun sampai saat ini masih banyak hal yang menjadi pertanyaan saya, terlebih mengenai tayangan yang menurut saya kurang layak disiarkan di televisi dan menjadi konsumsi publik, namun sampai saat ini masih disiarkan oleh stasiun televisi. Misalnya saja sinetron. Sinetron di Indonesia banyak yang mengandung nilai negatif, misalkan saja kekerasan, eksploitasi pergaulan bebas, mistis, dan hedonisme. Namun walaupun sudah berlebihan muatan negatifnya, banyak menuai protes dari masyarakat, tetap disiarkan di Indonesia, dan KPI hanya memberi sanksi yang menurut saya kurang berat dan kurang tegas.
Dan secara jujur saya merasa banyak sekali tayangan televisi yang kurang bermutu, sehingga membuat saya terkadang sangat malas untuk menonton televisi. Dan hal-hal seperti inilah yang ingin terus saya coba ketahui melalui kelas etika ini. Mengenai berbagai pertimbangan dan kebijakan yang diambil KPI atau pihak lain untuk tetap menyiarkan tayangan tersebut. Sehingga mungkin apabila nantinya saya ingin membuat suatu program televisi, bisa mendapatkan acuan, dan membuat tayangan yang saya buat bisa lebih baik karena sudah mengikuti peraturan yang ada.
Pada intinya saya cukup tertarik untuk mengikuti kelas etika, hukum media massa, dan kebijakan ini. Kelasnya cukup menyenangkan dan bisa dibilang serius tapi santai. Cara mengajarnya juga enak sehingga mudah dicerna otak. Dan saya berharap bisa terus memperoleh banyak informasi yang berguna bagi saya di kemudian hari.
Margareta Engge Kharismawati
Pertama kali, yang ada dalam pikiran saya mengenai mata kuliah Etika, Hukum, dan Kebijakan Media adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perundang-undangan media. Dalam arti, media mempunyai aturan main dalam mempublikasikan/menyajikan sesuatu kepada masyarakat. Intinya, tidak boleh sembarangan. Kira-kira, itulah yang ada di kepala saya mengenai mata kuliah ini untuk pertama kalinya.
Selama mengikuti perkuliahan ini, banyak pengetahuan baru yang saya dapat. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, P3/SPS, Kode Etik Wartawan Indonesia, UU Penyiaran, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan media, menjadi pembicaraan sehari-hari mata kuliah ini. Bagaimana lembaga-lembaga tersebut berfungsi, berjalan, dan mengatur penyiaran di Indonesia. Seberapa besar dan seberapa jauh campur tangan lembaga-lembaga dan hokum-hukum tersebut dalam penerapan penyiaran Indonesia. Seluk beluk dan kontradiksi dalam permediaan Indonesia.
Apa yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan sebuah media. Itulah inti yang saya dapat dari mata kuliah ini. Terlebih dengan penerapan metode diskusi, perkuliahan ini menjadi lebih menarik dan hidup. Berbagai permasalahan penyiaran dibahas dan digali lebih dalam lagi berdasarkan perspektif etika media. Saling tukar menukar pendapat antar mahasiswa dan dosen berupa ide, masukan, dan sanggahan membuat pelajaran menjadi lebih mudah dicerna otak dan menyenangkan.
Kunjungan ke berbagai lembaga pengatur media. Saya merasa hal ini penting untuk dapat direalisasikan. Kunjungan menjadi sebuah hal yang penting dikarenakan di situ kita dapat melihat dan berdiskusi secara langsung mengenai penyiaran Indonesia. Melihat lebih dekat dan berbicara langsung dengan para pelaku tentu akan lebih berisi dan menarik. Terjun secara langsung ke lapangan merupakan metode yang menurut saya paling efektif dalam memahami dan mempelajari sesuatu.
Paramitha Devi-07120110013
Belajar Etika dengan Tidak Membosankan
Mata kuliah Etika, Hukum Media Massa, dan Kebijakan. Pertama kali mendengar nama mata kuliah tersebut, satu kata yang terlintas dalam pikiran saya, membosankan. Kemudian pikiran saya mencapai pada pertemuan dengan mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi pada semester lalu. Pelajaran yang menurut saya membosankan, terkesan tidak membosankan.
Di kelas, sambil menanti dosen dating, saya pun membicarakan hal tersebut pada teman saya. Karena dosen tidak dating-datang, saya pun mulai turun ke lobby dengan teman saya. Namun demikian, ketika tiba di kelas, saya terkejut dangan tatanan kursi yang melingkar. Saya pun bertanya pada teman, kenapa kok kursinya dibuat seperti ini?
“Di suru ama dosennya,” jawab teman saya.
Keheranan pun terjadi, tumben-tumben ada dosen yang seperti ini. Setelah itu, Bapak Bimo Nugroho, dosen mata kuliah etika pun memperkenalkan diri beserta peraturan-peraturan di dalam kelas. Ketegangan pun menjadi sedikit hilang namun keheranan tetap terjadi di pertemuan pertama itu.
Pertemuan pertama dilanjutkan dengan acara perkenalan dari mahasiswa kelas Ilmu Komunikasi angkatan 2007. Di akhir pertemuan tersebut, Pak Bimo pun memberi tugas kepada Retti untuk mencetak foto beserta nama panggilan dari setiap anak pada 1 kertas.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya diisi dengan berbagai diskusi mengenai kejadian yang terjadi di negara ini. Mulai dari kasus Bank Century, kasus pemberitaan kematian Dulmatin, dan berbagai macam kasus-kasus lainnya. Jadi, kelas mata kuliah ini tidak hanya diisi dengan mendengarkan “ceramah” dari dosen saja, tetapi setiap mahasiswa juga dapat mengeluarkan pendapatnya tentang suatu kasus yang ada.
Pertemuan demi pertemuan pun dilewati hingga akhirnya tibalah pada pertemuan ke enam. Pada pertemuan keenam, Pak Bimo pun memberikan tugas kepada kami setelah menjelaskan beberapa materi. Tugas yang sungguh sangat tidak terduga oleh kami semua. Beliau meminta kami untuk membuat 10 soal untuk ujian kami. Siapa yang menyangka akan di beri tugas seperti itu?
Mulailah diskusi di kelas. Setiap mahasiswa membuat satu soal dan membacakannya di kelas. Dengan posisi duduk yang tetap melingkar, kami mulai memikirkan soal tersebut dan Pak Bimo pun “menilai” soal yang kami buat. Setelah itu, soal di kumpulkan ke Retti, dia yang nantinya bertugas untuk mengirimkan soal tersebut ke Pak Bimo.
Pada pertemuan ketujuh, kami di suru belajar di rumah masing-masing. Tidak ada materi lagi yang diberikan Pak Bimo kepada kami. Kami pun mengumpulkan fotocopy yang nantinya akan kami gunakan pada waktu ujian.
Akhirnya, hari ujian pun tiba. Beberapa anak termasuk saya berkumpul di bawah tangga untuk belajar bersama, membahas beberapa soal yang tidak dimengerti. Kemudian Pak Bimo pun dating dengan membawa soal ujian kami. Beliau duduk bersama kami di lantai di bawah tangga. Sesuatu yang mengejutkan lagi. Dosen mana yang mau duduk bersama di lantai? Sungguh sesuatu yang mengherankan bagi saya.
Di bawah tangga itu, Pak Bimo pun membuka tempat soal ujian tersebut. Terkesan membaca dengan serius kemudian beliau pun menemukan kejanggalan pada soal. Ternyata, soal yang dimasukkan salah. Mata kuliah mahasiswa angkatan 2008 dimasukkan pada amplop soal ujian kami. Pak Bimo pun menukarkan soal tersebut ke bagian BAAK.
Tibalah saat ujian. Kami semua masuk ke kelas tempat untuk ujian beserta dengan dosen kami itu. Setelah lembar soal dan lembar jawab dibagikan, kami pun mulai mebaca soal satu persatu. Pak Bimo pun mengatakan peraturan apa saja yang boleh dan tidak boleh kami lakuakn pada saat ujian.
Satu lagi hal yang mengherankan. Kami di perkanankan tidak berada di kelas saat ujian. Kami boleh menentukan di mana kami akan mengerjakan ujian tersebut. Kami juga diijinkan untuk berdiskusi antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, tidak boleh ada jawaban yang sama di lembar jawab setiap anak.
Dosen mana coba yang pernah mengadakan ujian seperti ini? Open book, diskusi, dan dapat mengerjakan di mana saja. Saya baru menemukan satu dosen yang memiliki metode pengajaran seperti ini. Dari sini, pandangan saya tentang pelajaran etika pun berubah. Ternyata, sesuatu itu dapat menyenangkan atau tidak, berdasarkan pada bagaimana seseorang membawakan materi tersebut.
Jadi, mata kuliah Etika, Hukum Media Massa, dan Kebijakan yang semula merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan, menjadi sesuatu yang menyenangkan. Terlebih menyenangkan lagi jika metode perkuliahan seperti ini dapat menjadi inspirasi dan diterapkan untuk berbagai mata kuliah yang lain.
Felicia Omega Anindya-07120110014
Awal mendapat mata kuliah etika media, saya mengernyitkan dahi. Mengapa? Karena saya berfikir semuanya akan berkutat pada pasal-pasal dan ayat-ayat yang jumlahnya ratusan, belum lagi aturan-aturan lainnya. Lalu saya membayangkan siapakah yang menjadi dosennya dan ternyata bukan orang asing lagi bagi saya. Dunia sangat sempit sampai-sampai saya memiliki dosen yang ternyata adalah teman dari orang tua saya (lagi).
Tibalah saat pertama kali bagi saya menghadiri kelas etika media. Jujur, saya sedikit kaget karena Pak Bimo meminta untuk memindahkan kursi menjadi bentuk lingkaran. Kemudian saya berkata dalam hati, "wah ini pasti ga akan bosen dikelas karena duduknya melingkar" Dan ternyata benar. Selama dalam kelas pertama kali, saya merasa waktu 110menit berjalan cepat. Itu semua karena proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh Pak Bimo membuat kami (terutama saya) merasa nyaman dan tidak bosan.
Dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh Pak Bimo, beliau sering melakukan diskusi karena beliau ingin kami lebih memahami suatu permasalahan yang berkaitan dengan etika media. Di sanalah kami bertukar pikiran satu sama lain. Suasana menjadi jauh lebih nyaman dengan celetukan-celetukan yang membuat suasana di kelas semakin nyaman. Tidak terlalu serius, tidak terlalu santai juga.
Sampai tiba saatnya pada UTS (Ujian Tengah Semester). Kami semua dikejutkan dengan keputusan Pak Bimo yang memberikan kami kesempatan untuk berdiskusi dan menambah referensi lewat internet atau buku-buku lain, padahal ujian kami open book. Saking kagetnya, kami semua hanya bisa saling pandang satu sama lain sebagai ekspresi tidak percaya. Namun, setelah dilakukan ujian dengan metode seperti itu kami merasa jauh lebih panik dibanding dengan ujian close book. Mengapa? Karena diperbolehkan untuk open book dan menambah dari referensi lain membuat kami makin bingung dalam menjawab pertanyaan. Belum lagi waktu yang sangat terbatas dalam mengerjakan ujian tersebut. But, over all, it was fun and it went well.