Awal mendapat mata kuliah etika media, saya mengernyitkan dahi. Mengapa? Karena saya berfikir semuanya akan berkutat pada pasal-pasal dan ayat-ayat yang jumlahnya ratusan, belum lagi aturan-aturan lainnya. Lalu saya membayangkan siapakah yang menjadi dosennya dan ternyata bukan orang asing lagi bagi saya. Dunia sangat sempit sampai-sampai saya memiliki dosen yang ternyata adalah teman dari orang tua saya (lagi).
Tibalah saat pertama kali bagi saya menghadiri kelas etika media. Jujur, saya sedikit kaget karena Pak Bimo meminta untuk memindahkan kursi menjadi bentuk lingkaran. Kemudian saya berkata dalam hati, "wah ini pasti ga akan bosen dikelas karena duduknya melingkar" Dan ternyata benar. Selama dalam kelas pertama kali, saya merasa waktu 110menit berjalan cepat. Itu semua karena proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh Pak Bimo membuat kami (terutama saya) merasa nyaman dan tidak bosan.
Dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh Pak Bimo, beliau sering melakukan diskusi karena beliau ingin kami lebih memahami suatu permasalahan yang berkaitan dengan etika media. Di sanalah kami bertukar pikiran satu sama lain. Suasana menjadi jauh lebih nyaman dengan celetukan-celetukan yang membuat suasana di kelas semakin nyaman. Tidak terlalu serius, tidak terlalu santai juga.
Sampai tiba saatnya pada UTS (Ujian Tengah Semester). Kami semua dikejutkan dengan keputusan Pak Bimo yang memberikan kami kesempatan untuk berdiskusi dan menambah referensi lewat internet atau buku-buku lain, padahal ujian kami open book. Saking kagetnya, kami semua hanya bisa saling pandang satu sama lain sebagai ekspresi tidak percaya. Namun, setelah dilakukan ujian dengan metode seperti itu kami merasa jauh lebih panik dibanding dengan ujian close book. Mengapa? Karena diperbolehkan untuk open book dan menambah dari referensi lain membuat kami makin bingung dalam menjawab pertanyaan. Belum lagi waktu yang sangat terbatas dalam mengerjakan ujian tersebut. But, over all, it was fun and it went well.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar