Bermain-main dengan Etika, Hukum, dan Kebijakan Media
Kamis kala itu, langit bersih. Tak ada satu pun awan yang menodai mega. Matahari bersinar terik di luar gedung kampus. Segera aku menyendokkan suapan nasi goreng terakhirku, menyambar botol air mineral sahabatku, Engge, dan menenggak isinya. Seusai membayar, sambil terbirit kami berlari menuju gedung megah di tengah hamparan tanah gersang Gading, Serpong. Kami bergegas menuju lantai dua. Tepat di depan kelas, kulongokkan kepalaku ke dalamnya. Tatapanku menyapu seisi kelas. Hampir separuh kelas sudah terisi oleh mahasiswa lainnya. Segera, aku dan ‘partner in crime’ ku, Engge, menyerbu masuk. Aku menjejakkan tubuhku pada sebuah bangku yang sudah diatur membentuk lingkaran besar. Teringat pada memori masa taman kanak-kanak rasa-rasanya.
Ternyata tempat duduk kami berdekatan dengan sang dosen. Dan itu semakin membuatku merasa jengah mengikuti kelas mata kuliah kali ini. Malas saja aku berurusan dengan tetek bengek sebangsa etika lah, hukum lah, kebijakan lah. Aku bukan orang yang suka diatur. Semakin menjadi-lah keengananku pada kelas Kamis siang tersebut.
Berkacamata. Posturnya setinggi dad. Aku menerka, umurnya juga seumuran dad. Kemejanya rapi. Jam tangan ber-merk mengelung di tangannya. Hmmmm… dalam benakku, “ahh…. Pasti konvensional bin teoritis. Alamat virus boring menjangkitiku sepanjang hayat mengikuti kelas ini. Malesssss….”
Prosesi perkenalan pun dimulai. Namanya Bimo Nugroho. Seorang anggota KPI Pusat. Diminta langsung oleh sesepuh Kompas Gramedia alias si “empunya” kampus, Jakob Oetama, untuk memberikan kuliah mengenai etika, hukum media massa, dan kebijakan pada kami, anak-anak jurnalistik 2007. Wew… bukan orang sembarangan. Hatiku mulai menciut. Ow… ow… pikiran busukku mulai meracuni pandanganku terhadap sang dosen.
“Ahhhhhh pasti snobby. Pasti sok. Pasti belagu. Pasti pongah, angkuh, dan congkak, mirip si dosen XXX itu.”
Beragam pikiran negatif menyergap. Sejam berselang, runtuh semua pikiran beracunku terhadap si dosen. Ternyata tidak seperti itu. Rasa malu merambatiku, untung saja tak ada yang tahu. Pak Bimo tidak mengajar di depan kelas. Tidak juga memberikan pertanyaan-pertanyaan nyleneh khas dosen penganut paham konvensionalisme seperti yang lain. Pak Bimo hanya duduk santai bersender pada bangku yang sama, bangku mahasiswa. Dan beliau mulai “mendongeng” mengenai suatu isu yang tentu saja berhubungan dengan etika, hukum, dan kebijakan di media massa. Mendongeng! Bukan mengajar! Tapi sharing. B0erdiskusi. Ngobrol lumrahnya yang terjadi di warung kopi. Wow! Kelas apaan coba tuh!
Puncaknya, ujian tengah semester datang. Ujian yang seharusnya dimulai pukul satu siang, molor sampai jam setengah dua karena kesalahan teknis. Kemeja batik Keris berwarna ceria yang dipakainya, seolah “meneriakkan” good news. Dan ternyata benar saja. Kami berhak membuat soal sendiri ketika ujian, kami diperbolehkan berdiskusi selama ujian, kami boleh mengerjakan ujian di perpustakaan, sambil jalan-jalan, makan-makan, ngobrol-ngobrol, buka fesbuk, blablablablaaa… “Happy Mid Test a la Bimo Nugroho”. Melalui asuhan Bimo Nugroho, kami “bermain” dan “bersahabat” dengan etika, hukum, dan kebijakan media massa.
Pak Bimo justru 180 derajat dari yang kupikirkan awalnya. Beliau tidak mengajar melainkan bercerita. Menganggap kami sebagai rekan, bukan mahasiswa yang harus tunduk pada dosen. Bahkan Pak Bimo masih mengingat lemon tea pemberianku. Hahahaaaa… So humble of Bimo Nugroho, so nice with the “Etika, Hukum, dan Kebijakan Media Massa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar