Ketika Etika Tak Lagi Membosankan
Kesan pertama memang tak akan terlupakan. Sosok dosen berpakaian formal itu serentak menjadi pusat perhatian kami. Kemeja batik, celana bahan hitam, dan sepatu pantovel. Pembawaannya terlihat serius namun ramah. Eh.... jangan salah. Ternyata bapak ini asik juga. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Bimo Nugroho. Kami diminta memanggilnya Mas Bimo. Tapi kadang-kadang kami tetap memanggilnya bapak. Itu karena kami sudah terbiasa memanggil dosen lain dengan sebutan bapak.
Pertemuan pertama ini, kami dibuat bingung olehnya. Ia meminta kami duduk melingkar. Alasannya supaya kami tidak bosan dengan mata kuliah Etika, Hukum Media Massa, dan Kebijakan yang diampunya itu. Ia ingin mengubah cara pandang belajar etika yang dianggap sangat membosankan menjadi tidak membosankan. Kami pun duduk melingkar sesuai permintaannya.
Setelah perkenalan, Maria Goretti alias Retti jadi “tumbal” kali ini. Ia diminta membuat daftar nama anak-anak sekelas beserta dengan fotonya. Baginya, daftar nama temen-teman seperti itu bisa jadi channel menuju kesuksesan. Sayang bila teman-teman masa kuliah ini dilewatkan begitu saja.
Di akhir pertemuan pertama, ia menanyakan sesuatu yang menurut saya agak lucu. Mungkin pertanyaan ini tidak lazim ditanyakan oleh dosen-dosen lain. Ia bertanya mengenai aturan boleh tidaknya dosen menggunakan celana jeans. Kami serentak menjawab, “Boleh kok, Pak.” Pertanyaan ini agak aneh karena tidak pernah ada dosen yang meminta izin untuk menggunakan jeans saat mengajar. Biasanya mereka langsung saja pakai jeans. Dan itu sah-sah saja.
Minggu depannya, Pak Bimo masuk ke kelas dengan menggunakan celana jeans. Awalnya saya cukup kaget karena kesan awal Pak Bimo sangat formal, tapi ternyata bisa santai juga. Hehehehe.... Satu hal peraturan yang paling saya ingat kalau sedang di kelas yaitu kami boleh ngobrol dan berdiskusi tapi kalau ada teman yang berbicara, kami harus mendengarkan.
Setelah Retti, yang kena getahnya adalah Istman. Istman kena teguran dari Pak Bimo karena ia ngupil di kelas. Perbincangan mengenai insiden kecil tersebut berlanjut hingga ke Twitter.
Minggu-minggu berikutnya sudah mulai masuk pada pembahasan dan diskusi di kelas. Pembahasan dan diskusi ini melibatkan kasus-kasus yang sedang hangat seperti Pansus Century, Dulmatin, Aburizal Bakrie, kasus Luna Maya, penyiaran dan rating, peranan KPI dalam penyiaran di Indonesia selama ini, dll. Selain mendiskusikan kasus-kasus tersebut, kami juga dibekali dengan teori-teori seperti UU Pokok Pers, UU ITE, KEWI, P3 & SPS, dll.
Setiap topik akan diberikan gambaran umumnya oleh Pak Bimo lalu kami diminta menanggapi dan memberikan pendapat mengenai kasus tersebut. Contohnya saat kami membahas kasus Dulmatin. Yang menjadi pertanyaan dalam kasus ini adalah etis tidaknya sebuah stasiun televisi menampilkan gambar-gambar yang sadis dalam bentuk darah, mayat Dulmatin, dan senjata yang dipegangnya. Secara kode etik itu melanggar, tapi kenapa gambar-gambar seperti itu masih saja tetap ditampilkan? Untuk menjawab hal tersebut, kami pun membahasnya dengan berdiskusi. Hasil diskusi kami menyatakan bahwa semuanya itu semata-mata demi rating yang tinggi. Semakin kontroversi gambar yang ditayangkan, semakin banyak penontonnya. Nah, penonton itulah yang kemudian akan mendatangkan pendapatan dari pengiklan. Jadi, intinya sih UUD alias Ujung-Ujungnya Duit.
Selain itu, kami juga membahas mengenai apa-apa saja yang sudah dilanggar oleh stasiun televisi dan apa peran KPI dalam menanggapi hal tersebut. Misalnya saja program “Empat Mata” yang tidak diperkenankan untuk tayang lagi karena pernah menampilkan seorang narasumber yang memakan kodok hidup-hidup. Tindakan tersebut tidak etis bila ditampilkan di televisi. Oleh karena itulah, KPI melayangkan surat teguran sekaligus peringatan bagi program tersebut. Tak kehabisan akal, “Empat Mata” mengubah judul programnya menjadi “Bukan Empat Mata” agar dapat tayang kembali.
Di sela-sela diskusi kami yang cukup serius, kami sering dibuat tertawa gara-gara pintu kelas yang tidak bisa ditutup rapat. Pintu itu selalu saja bermasalah setiap minggunya. Sampai-sampai kami sempat mengadakan kompetisi kecil-kecilan siapa yang bisa menutup pintu itu. Tapi itu hanya sekedar main-main selingan saja.
Nah, suatu kali, Pak Bimo pernah membawa setumpuk buku yang tebal-tebal cocok untuk “alas tidur”. Ngeliatnya aja udah pusing, apalagi bacanya. Hahaha... Taunya buku itu memang dibawa buat kami pinjam dan kami baca. Isinya seputar regulasi penyiaran di Indonesia. Dan setelah buku itu diberikan kepada Istman, kami diberi tugas untuk membuat tulisan dalam bentuk makalah mengenai kasus-kasus yg terjadi terkait dengan regulasi penyiaran. Haduh-haduh... Cape deh....
Dua minggu sebelum UTS, kami membahas mengenai apa saja yang sudah dipelajari selama ini lalu membuat soal bersama yang menjadi kisi-kisi bersama juga. Baru kali ini ada dosen yang meminta mahasiswanya untuk membuat soal ujian. Ckckckck.....
Minggu terakhir malah tidak ada kelas. Pak Bimo memberikan waktu kepada kami untuk beristirahat sejenak. Saatnya refreshing sebelum UTS...
Saat UTS tiba.... Karena jeda yang lama antara ujian pertama dengan ujian kedua ini, jadi kami agak kebawa santai. Lalu ketika mendekati jam ujian, kami baru belajar bersama. Eh, ga lama Pak Bimo datang menghampiri kami di bawah tangga depan lift lantai 1. Kami ngobrol-ngobrol sebentar. Jarang loh ada dosen yang mau duduk bareng sama mahasiswa-mahaiswanya di bawah alias di lantai. Pak Bimo malah nawarin mau dibuka ga soalnya. Kami jelas menjawab, “Mau dong, Pak.” Eh, malah beneran dibuka.... dan ternyata..... soalnya salah. Awalnya kita ga ngerti kalau soalnya salah. Muka Pak Bimo berkerut lalu dia berkata, “Saya ga pernah bikin soal kaya gitu.” Benar saja soalnya salah. Itu soal Sosiologi Komunikasi tapi nama dosen di soalnya benar Pak Bimo. Ia bilang, “Kalau ga ada soalnya ya kita diskusi aja.” Kami seneng banget dengernya. Pak Bimo balik lagi ke BAAK terus dibenerin soalnya. Sudah lewat 15 menit, bapaknya baru nyamperin kita lagi di bawah tangga. Sampai di kelas, kami dikejutkan karena Pak Bimo bilang boleh open book dan boleh diskusi. Emang sih kami open book tapi yang lebih mengejutkan lagi, kami diperbolehkan diskusi. Itu pengalaman pertama merasakan ujian seperti itu. Teman-teman yang lain juga pada kaget. Bahkan boleh ngerjain di mana aja termasuk di perpus. Boleh searching internet pula. Tapi syaratnya sudah harus kumpul di kelas jam 15.30 karena kita mulai jam 13.30. Tanpa basa-basi, teman-teman langsung berpencar. Sebagian besar memilih ke perpus. Hanya tinggal kami berenam yang tinggal di kelas: Susan, Grace, Nita, Abenk, Devi, Steffi ditemani oleh Pak Bimo. Kami berenam duduk melingkar di tengah kelas. Awalnya kami berdiskusi tapi lama-lama kami serius sendiri.
Eh, tiba-tiba ada suara langkah kaki orang memakai sepatu hak. Dia mondar-mandir di depan kelas, sampe akhirnya dia mengetuk pintu kelas lalu membuka pintunya dengan wajah yang aneh dan curiga. Tatapan matanya nyolot banget kaya nyurigain kami gitu. Terus dia masuk, nanya sama Pak Bimo, “Pak ini open book?” Terus Pak Bimo jawab, “Iya.” Dia nanya lagi, ”Tapi ga boleh diskusi kan?” Dengan santai, Pak Bimo menjawab, “Boleh kok.” Terus mukanya berubah jadi aneh gitu. Setelah itu dia pergi. Tidak lama, dia datang lagi bersama Bu Hira dan Mbak Retha. Mereka membicarakan tentang soal yang salah. Kami hanya diam mendengarkan sambil menulis. Setelah mereka selesai, ibu yang baru itu malah melihat kami dengan pandangan seperti merendahkan kaya ngeliat “orang penyakitan”. Kami semua serentak membalas tatapannya dengan tatapan yang agak sinis juga mulai dari meja Pak Bimo sampai ke depan pintu. Lalu kami mengerjakan lagi. Beberapa saat sebelum batas waktu, teman-teman dari perpus datang. Mereka berlari karena takut telat mengumpulkan. Ada yang sampe ketinggalan kartu ujian, ada yang ketinggalan tas, dll. Setelah semuanya selesai mengumpulkan, kami malah memperbincangkan ibu-ibu tadi dengan serunya. Lucu sih ada staf baru yang ngeliatin kita kaya gitu. Dia aneh sama cara mengajar Pak Bimo. Jangankan dia yang baru, kami yang sudah setengah semester aja kaget ujian bisa open book sambil diskusi dan searching internet. Hahaha... Pengalaman yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Sempat deg-degan juga sih kalau ternyata tidak boleh open booksama BAAK. Takut ga bisa ngerjain. Hehehehe..... Tapi akhirnya UTS selesai juga dengan open book dan diskusinya. ^__^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar