Belajar Etika ala Pak Bimo
Pertama kali saya masuk kelas etika ini, saya cukup terkejut karena dosen saya, Pak Bimo Nugroho meminta kami untuk mengatur tempat duduk menjadi lingkaran. Hal ini dilakukan agar kelas tidak lagi kaku. Kami satu kelas diminta menjadi lebih rileks saat kegiatan belajar mengajar.
Dan, well it works.... Kami menjadi lebih rileks dalam belajar. Lagipula di kelas kami tidak hanya mendengarkan Pak Bimo mengajar. Ia mengatakan akan lebih banyak mengajar dengan cara tanya jawab. “Karena saya dan kalian sama. Belum tentu saya lebih pintar dari kalian. Hanya saja kebetulan saya belajar lebih dahulu dari kalian sehingga saya bisa di sini,” cetus Pak Bimo saat perkuliahan pertama.
Selain mengatur cara duduk di kelas, kami pun diminta untuk membuat sebuah buku seperti buku kenangan saat SMA yang berisi nama panggilan dan foto anak-anak satu kelas (Jurnalistik 2007). Retti pun diminta untuk menjadi perwakilan yang mengurus seluruh pengumpulan foto dan nama kami sekelas. Boleh dikatakan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh dosen lain untuk mengenal kami. Tapi, cara ini lumayan asyik dan menyenangkan karena melibatkan kami semua.
Minggu-minggu selanjutnya kelas Etika dan Regulasi Penyiaran dipenuhi oleh tanya jawab mengenai presentasi yang dilakukan oleh Pak Bimo maupun hal-hal yang saat itu sedang booming. Saya ingat di salah satu pertemuan kami, kami membicarakan mengenai etika yang ada di media penyiaran. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh media massa siar seperti televisi. Pelanggaran-pelanggaran tersebut pada akhirnya akan ditindaklanjuti oleh KPI (Komisi Penyiaran Indoensia), tempat kerja Pak Bimo.
KPI-lah yang menindaklanjuti siaran-siaran bandel tersebut. Salah satu siaran yang kami bahas adalah tayangan foto mayat Dulmatin yang di-close up secara berulang-ulang oleh stasiun TV One. Mereka terus-menerus menayangkan foto tersebut ketika menyiarkan berita mengenai benarkah bahwa yang tertembak di depan Multiplus, Pamulang merupakan Dulmatin yang selama ini memang menjadi salah seorang teroris yang dicari-cari.
Hal tersebut dibahas secara detail dan mendalam saat diskusi kelas. Bahwa TV One dalam menayagkan foto close-up wajah mayat merupakan hal yang tak etis. Sekiranya hal tersebut dalam diskusi kami disebutkan sebagai salah satu upaya televisi, khususnya televisi berita, untuk mendongkrak rating mereka. Dan hal tersebut telah mendapat teguran dari KPI. Hingga sekarang kita tak bisa lagi melihat tayangan foto tersebut karena telah dilarang oleh KPI.
Selain itu, kami juga pernah membahas mengenai kasus Bank Century yang hingga saat ini tak kunjung usai. Dari awal kasus itu muncul hingga pola-pola pemberitaannya di media televisi menjadi sorotan tersendiri dalam diskusi saat itu.
Masuk ke dalam pembahasan mengenai P3 dan SPS, kami membahas mengenai peraturan yang mengatur mengenai tayangan yang akan ditayangkan maupun tayangan yang telah tayang. Hal-hal seperti kekerasan, seksualitas, tidak mendapat tempat dan tak boleh tayang di televisi. Karena hal-hal tersebut dapat ditonton oleh umum, para pengguna televisi. Beda halnya jika tayangan tersebut ditampilkan dalam bioskop. Di bioskop, tayangan-tayangan seperti itu dapat ditayangkan karena menonton di bioskop merupakan pilihan masing-masing orang. Jika orang tersebut memang ingin menonton, maka ia membayar untuk menonton. Sedangkan jika program yang ditayangkan di televisi, tidak diketahui siapa yang menonton. Selain itu yang terpenting, program yang tayang di televisi menggunakan frekuensi di udara yang notabene milik publik.
Pada presentasi hari itu, kami juga membahas contoh-contoh kasus yang real memang terjadi di Indonesia. Contohnya antara lain saat rekaman sidang yang membahas apa saja yang dilakukan oleh tersangka mantan ketua KPK Antasari Azhar dan Rani lakukan di kamar hotel. Rekaman video itu diputar secara berulang-ulang dan tentu saja mengumbar kata-kata yang tak pantas didengar oleh semua orang terutama oleh anak-anak. Hanya saja hal tersebut dilakukan oleh TV One dan konsekuensinya mereka mendapat teguran dari KPI dan harus menarik tayangan mengenai rekaman video sidang tersebut.
Ternyata hal tersebut mengundang kontradiksi tersendiri karena pihak televisi menjadi salah paham dengan KPI. KPI dianggap tidak memperbolehkan pihak stasiun televisi untuk menayangkan persidangan. Untunglah hal tersebut telah diluruskan kembali. Yang tidak diperbolehkan adalah proses persidangan yang mengumbar kata-kata seksual yang bisa membangkitkan hasrat, bukan proses persidangan secara keseluruhan.
Selain itu, kami juga pernah membahas perkembangan teknologi yang telah berkembang dari analog hingga ke digital. Berbagai media kini telah mengalami yang namanya integrasi media. Media-media saat ini haruslah bergabung agar menjadi suatu kekuatan baru dan dapat bertahan menghadapi tuntutan zaman yang semakin kuat.
Selain itu, kami dalam kuliah-kuliah lainnya membahas mengenai regulasi penyiaran. Dan pada suatu hari, Pak Bimo membawakan setumpuk buku yang...,wow...banyak dan tebal. Saya sampai berpikir apakah akan sanggup untuk membaca buku setebal itu. Kebanyakan dari buku itu mengenai penyiaran dan sejarah media yang menunjang kami untuk mengerjakan ujian yang buat saya mengerikan.... Ujian Tengah Semester....
Untung saja Pak Bimo memberikan ide yang cemerlang untuk UTS kali ini. Ia memperbolehkan kami untuk memberikan ide-ide pertanyaan yang akan keluar saat ujian nanti. Pak Bimo menginginkan kami menghadapi ujian yang menegangkan dengan mengasyikkan. Make something scary become fun... Oleh karena itu, kami pun diperbolehkan untuk membawa buku sebanyak-banyaknya guna menjawab ujian yang open book ini. Yey...
Pada hari ujian, kami menunggu di depan lift sambil mencoba untuk membahas kira-kira apa yang akan keluar nantinya. Saat itulah Pak Bimo datang dan menghampiri kami. Ia iseng-iseng membuka amplop yang berisi soal ujian dan, voila... soal yang diberikan ternyata salah dan hal itu menyebabkan ujian kami mundur selama satu jam karena soal ujian milik Pak Bimo harus di-print ulang.
Saat ujian pun akhirnya dimulai pukul 15.30. Terlambat setengah jam. Kami kaget ternyata Pak Bimo memperbolehkan kami untuk berdiskusi saat ujian. Bahkan kami boleh mencari bahan untuk menjawab ujian Pak Bimo di internet maupun di perpustakaan. Sungguh ini adalah pengalaman pertama menjawab soal demikian. Hanya saja, walau kami memegang buku dan boleh berdiskusi, kami harus menjawab soal-soal yang ada dengan bahasa kami dan emikiran kami sendiri. Antara anak yang satu dan yang lain tak diperbolehkan ada jawaban satu kalimat pun yang sama.
Wow, pengalaman ujian yang menegangkan dan ya, menegangkan. Karena walau boleh ini dan itu, kami tetap memiliki batas waktu untuk mengumpulkan ujian kami. Lewat batas waktu tersebut kami tak dapat mengumpulkan ujian tersebut. Maka, dalam ujian kami tak banyak berdiskusi. Yang ada, justru kami hanya saling bertanya jika lupa sesuatu. Cara ini saya kira efektif jika ingin mengasah otak mahasiswa untuk berpikir kreatif dan mengeluarkan semua wawasan yang dimiliki mahasiswa dalam menjawab ujian.
Jadi, siapa bilang belajar etika dan regulasi penyiaran itu membosankan dan membuat ngantuk? Ternyata cara belajar mengajar yang disuguhkan Pak Bimo efektif dalam membuat belajar etika menjadi mengasyikkan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar