Belajar Etika dengan Tidak Membosankan
Mata kuliah Etika, Hukum Media Massa, dan Kebijakan. Pertama kali mendengar nama mata kuliah tersebut, satu kata yang terlintas dalam pikiran saya, membosankan. Kemudian pikiran saya mencapai pada pertemuan dengan mata kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi pada semester lalu. Pelajaran yang menurut saya membosankan, terkesan tidak membosankan.
Di kelas, sambil menanti dosen dating, saya pun membicarakan hal tersebut pada teman saya. Karena dosen tidak dating-datang, saya pun mulai turun ke lobby dengan teman saya. Namun demikian, ketika tiba di kelas, saya terkejut dangan tatanan kursi yang melingkar. Saya pun bertanya pada teman, kenapa kok kursinya dibuat seperti ini?
“Di suru ama dosennya,” jawab teman saya.
Keheranan pun terjadi, tumben-tumben ada dosen yang seperti ini. Setelah itu, Bapak Bimo Nugroho, dosen mata kuliah etika pun memperkenalkan diri beserta peraturan-peraturan di dalam kelas. Ketegangan pun menjadi sedikit hilang namun keheranan tetap terjadi di pertemuan pertama itu.
Pertemuan pertama dilanjutkan dengan acara perkenalan dari mahasiswa kelas Ilmu Komunikasi angkatan 2007. Di akhir pertemuan tersebut, Pak Bimo pun memberi tugas kepada Retti untuk mencetak foto beserta nama panggilan dari setiap anak pada 1 kertas.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya diisi dengan berbagai diskusi mengenai kejadian yang terjadi di negara ini. Mulai dari kasus Bank Century, kasus pemberitaan kematian Dulmatin, dan berbagai macam kasus-kasus lainnya. Jadi, kelas mata kuliah ini tidak hanya diisi dengan mendengarkan “ceramah” dari dosen saja, tetapi setiap mahasiswa juga dapat mengeluarkan pendapatnya tentang suatu kasus yang ada.
Pertemuan demi pertemuan pun dilewati hingga akhirnya tibalah pada pertemuan ke enam. Pada pertemuan keenam, Pak Bimo pun memberikan tugas kepada kami setelah menjelaskan beberapa materi. Tugas yang sungguh sangat tidak terduga oleh kami semua. Beliau meminta kami untuk membuat 10 soal untuk ujian kami. Siapa yang menyangka akan di beri tugas seperti itu?
Mulailah diskusi di kelas. Setiap mahasiswa membuat satu soal dan membacakannya di kelas. Dengan posisi duduk yang tetap melingkar, kami mulai memikirkan soal tersebut dan Pak Bimo pun “menilai” soal yang kami buat. Setelah itu, soal di kumpulkan ke Retti, dia yang nantinya bertugas untuk mengirimkan soal tersebut ke Pak Bimo.
Pada pertemuan ketujuh, kami di suru belajar di rumah masing-masing. Tidak ada materi lagi yang diberikan Pak Bimo kepada kami. Kami pun mengumpulkan fotocopy yang nantinya akan kami gunakan pada waktu ujian.
Akhirnya, hari ujian pun tiba. Beberapa anak termasuk saya berkumpul di bawah tangga untuk belajar bersama, membahas beberapa soal yang tidak dimengerti. Kemudian Pak Bimo pun dating dengan membawa soal ujian kami. Beliau duduk bersama kami di lantai di bawah tangga. Sesuatu yang mengejutkan lagi. Dosen mana yang mau duduk bersama di lantai? Sungguh sesuatu yang mengherankan bagi saya.
Di bawah tangga itu, Pak Bimo pun membuka tempat soal ujian tersebut. Terkesan membaca dengan serius kemudian beliau pun menemukan kejanggalan pada soal. Ternyata, soal yang dimasukkan salah. Mata kuliah mahasiswa angkatan 2008 dimasukkan pada amplop soal ujian kami. Pak Bimo pun menukarkan soal tersebut ke bagian BAAK.
Tibalah saat ujian. Kami semua masuk ke kelas tempat untuk ujian beserta dengan dosen kami itu. Setelah lembar soal dan lembar jawab dibagikan, kami pun mulai mebaca soal satu persatu. Pak Bimo pun mengatakan peraturan apa saja yang boleh dan tidak boleh kami lakuakn pada saat ujian.
Satu lagi hal yang mengherankan. Kami di perkanankan tidak berada di kelas saat ujian. Kami boleh menentukan di mana kami akan mengerjakan ujian tersebut. Kami juga diijinkan untuk berdiskusi antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, tidak boleh ada jawaban yang sama di lembar jawab setiap anak.
Dosen mana coba yang pernah mengadakan ujian seperti ini? Open book, diskusi, dan dapat mengerjakan di mana saja. Saya baru menemukan satu dosen yang memiliki metode pengajaran seperti ini. Dari sini, pandangan saya tentang pelajaran etika pun berubah. Ternyata, sesuatu itu dapat menyenangkan atau tidak, berdasarkan pada bagaimana seseorang membawakan materi tersebut.
Jadi, mata kuliah Etika, Hukum Media Massa, dan Kebijakan yang semula merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan, menjadi sesuatu yang menyenangkan. Terlebih menyenangkan lagi jika metode perkuliahan seperti ini dapat menjadi inspirasi dan diterapkan untuk berbagai mata kuliah yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar