Kuliah, Kritis, Argumen, dan Melingkar
Pertemuan pertama begitu berkesan. Begitu masuk ke ruang kelas, seperti biasa kami bercanda-canda. Tak lama kemudian sesosok dosen, dengan menggunakan baju batik masuk ke dalam kelas. Dia pun meminta mahasiswa untuk duduk membentuk lingkaran. dengan patuh kita membereskan kursi dengan bentuk lingkaran.
Bisa dibilang ini pertama kali kami belajar sembari duduk melingkar. Ternyata asik juga duduk seperti ini, apalagi jika ingin berdiskusi. Yang tidak enak adalah aktivitas kita semua terlihat oleh dosen. Jadi susah kalau mau bermain telepon genggam, membaca buku, dan lain-lain. Hehehehehe.
Pertemuan pertama berlangsung dengan perkenalan diri masing-masing, termasuk Bapak. Maria Goretti terkena getahnya dengan disuruh membuat daftar nama kita disertai dengan foto masing-masing.
Tapi yang membuat kelas kita “heboh”, di ruang kelas maupun di dunia maya alias di twitter, adalah teguran Bapak ke Istman hahahaha.
Setelah itu, kelas kita banyak diisi oleh diskusi-diskusi mengenai kasus-kasus yang sedang terjadi sekarang, seperti kasus Bank Century dan Dulmatin.
Dalam pembahasan kasus Bank Century, kita mempertanyakan motif sebenarnya dari pembuatan Pansus untuk kasus Bank Century dan dari segi penayangan media. Dari segi pembuatan Pansus, kita mempertanyakan motifnya, apakah benar-benar mau mengetahui kebenaran dari kasus tersebut atau hanya bermotifkan politik dan balas dendam.
Dari diskusi, sebagian besar berpendapat kalau motifnya lebih ke politik balas dendam dari PKS dan Aburizal Bakrie. Dan tentu saja, posisi partai-partai untuk mendapatkan image yang bagus di masyarakat sebagai bekal untuk pemilu yang akan datang.
PKS dianggap balas dendam ke Boediono karena dia mengambil posisi Wapres yang semestinya untuk PKS. Bapak menanyakan alasan mengapa Boediono yang dipilih, berbagai alasan pun keluar, kebanyakan alasannya adalah karena dia ahli ekonomi. Tetapi, Bapak menambahkan ide baru, apakah mungkin Boediono dipilih karena dia dapat menyediakan dana untuk pemilu yang memang berasal dari Bank Century.
Sedangkan Aburizal Bakrie yang mempunyai posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan pemilik TV One dan Vivanews, mempunyai dendam pribadi kepada Sri Mulyani karena Sri Mulyani menolak untuk membantu beberapa perusahaan Bakrie.
Media massa menayangkannya terus menerus demi kepentingan rating. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan kasus yang sebenarnya, yang penting ada berita menarik (seperti Ruhut Sitompul membuat komentar-komentar “heboh”) dan disukai oleh masyarakat. Akhirnya pemberitaannya pun mulai menjauh dari kasus yang sebenarnya.
Dalam kasus Dulmatin, kita membahas mengenai alasan dibalik televisi menayangkan terorisme dan tayangan kasus Dulmatin. Kita tidak menjawab ketika ditanya pertanyaan yang pertama, kemudian Bapak menjelaskan. Salah satu alasannya adalah supaya ada legitimasi kalau membunuh teroris itu tidak apa-apa dan merupakan sesuatu yang baik. Juga menanamkan kalau teroris itu jahat dan sehingga boleh langsung dibunuh dan kita bersyukur karena itu. Supaya ada “ancaman” juga kepada masyarakat supaya tidak menjadi teroris, ada yang harus dibayar jika menjadi teroris.
Kalau kasus Dulmatin, yang dipertanyakan adalah etika media tv tersebut ketika memperlihatkan tayangan yang memperlihatkan darah teroris yang berceceran, mayat Dulmatin dan senjata yang dipegangnya. Menurut kami, hal tersebut dilakukan demi rating. Semakin menarik yang ditayangkan, maka penonton akan semakin banyak. Bagi penonton, mayat teroris dan drama pengejarannya sangat menarik, jadi media tv berbondong-bondong menanyangkan tayangan tersebut.
Selain dua kasus tersebut, kita juga pernah berdiskusi mengenai peran KPI, apakah sudah maksimal atau belum, apakah KPI mempunyai kekuatan untuk memberikan hukuman kepada media tv yang “nakal”.
Menurut kami, perannya belum maksimal karena masih banyak sinetron-sinetron tak bermutu yang tayang. Sebenarnya hal ini disebabkan karena ternyata KPI tidak mempunyai hak untuk memberikan hukuman yang berat kepada media tv tersebut.
Bapak juga pernah menjelaskan (bisa dibilang) sejarah media, dari yang masih tradisional ke yang sudah mengandalkan teknologi dan struktur dari undang-undang media. Dari yang tertinggi hingga ke yang (seperti sub) undang-undang.
Ujian mata kuliah ini, merupakan ujian yang sangat unik dan pertama kali saya alami. Kami boleh membuka buku, diskusi, dan mengerjakan di manapun yang kita mau asalkan kumpul tepat pada waktunya.
Saya setuju dengan ujian macam ini, bukan karena boleh diskusi jadi tidak perlu belajar. Dengan ujian semacam ini, mahasiswa tidak dituntut untuk menghapal pelajaran, tetapi memahami kasus dan berpikir kritis. Inilah yang dibutuhkan oleh mahasiswa dalam kehidupan nyata. Lagian, kalau boleh jujur, kita lebih mudah lupa jika hanya dihapal (malah, setelah ujian juga lupa). Kalau kita memahami, pasti lebih akan susah untuk dilupakan.
Secara umum, saya menyukai metode pengajaran dan ujian yang digunakan. Membantu kami (khususnya saya) untuk bisa berpikir lebih kritis, berani untuk mengatakannya di depan publik beserta argumen-argumen mengapa saya berkata seperti itu.
Bapak juga baik, mau mendengarkan apa pendapat kami. Tidak memaksa kami bahwa pendapat bapak adalah yang paling benar dan yang lainnya salah (soalnya ada dosen yang seperti itu). Oiya, Bapak juga rendah hati. Waktu itu mau duduk bareng kami di lantai, jarang banget dosen yang mau melakukan hal seperti itu.
Pendidikan di Indonesia harus diubah. Kalau sedari SD kita sudah terbiasa seperti ini, sumber daya manusianya juga pasti bertambah hebat. Karena tidak hanya menjadi kerbau yang ditarik saja (meminjam istilah Soe Hok Gie), tetapi berani untuk berpikir sendiri dan tentu saja dengan pertanggungjawaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar