Kamis, 24 Juni 2010

Analisis : Tayangkan LIVE Sidang Asusila Antasari, TV One Ditegur KPI *Claudy Isabella*

** ABSTRAKSI **

Tanggal 8 Oktober 2009 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menggelar sidang kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, dengan terdakawa Antasari Azhar. Dalam sidang yang terbuka untuk umum tersebut, Jaksa Penuntut Umum Cirus Sinaga, membacakan dakwaan setebal tujuh halaman, yang berisi kronologis pertemuan Antasari dengan Rani Juliani di kamar 803 Hotel Grand Mahakam, Jakarta. JPU menceritakan, pembunuhan Dirut PT Putra Rajawali Banjaran tersebut berawal dari pertemuan Rani dengan Antasari utnuk membicarakan keanggotaan Antasari di modern Golf Tangerang.


Sidang yang berisi pembacaan dakwaan jaksa itu membeberkan secara mendatail dan vulgar hubungan intim Antahari dengan Rani. Pemaparan dakwaan yang vulgar itu tak hanya membuat terpengaruh para hadirin diruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi juga membuat banyak kalangan terutama para orang tua, yang bersama anak dibawah umur menyaksikan lewat layar kaca. Pasalnya, sidang terbuka itu disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi, salah satunya adalah TV One. Pemaparan dakwaan yang vulgar dan berbau pornografi dalam sidang terbuka dinilai tak etis secara prinsip moralitas hukum.


TV One melalui program acaranya, Breaking News, menyiarkan pembacaan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Jakarta Selatan mulai pukul 09.45 WIB (19/01/2010). Sempat membuat “heboh”, akhirnya KPI Pusat dan Dewan Pers sepakat menyatakan bahwa TV One telah melakukan pelanggaran beberapa pasal yang berkaitan dengan penyiaran, pers, standa rprogram siaran (SPS), dan kode etik jurnalistik.


Program "Breaking News" dinyatakan telah melanggar Pasal 36 ayat (3) dan (5b) UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 13 ayat (1), Pasal 16 ayat 1 dan Pasal 17 (j) SPS KPI tahun 2009, serta Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Menurut KPI, sekalipun pembacaan tuntutan dibuka untuk umum, namun jika di dalamnya terdapat unsur dugaan perbuatan mesum dan vulgar, maka siaran yang menyiarkan hal tersebut secara berulang-ulang, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Sebab telah mengabaikan perlindungan terhadap hak dan kepentingan anak-anak dan remaja.

----------------------------------------------------------------------------------

** LANDASAN TEORI **


UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

* Pasal 36 ayat (3)
Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

* Pasal 36 ayat (5)
Isi siaran dilarang:
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.




UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers

* Pasal 5 ayat (1)
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.




Standar Program Siaran KPI Tahun 2009

* Pasal 13 ayat (1)
Program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak, remaja, dan perempuan.

* Pasal 16 ayat (1)
Program siaran wajib memiliki batasan terhadap adegan seksual, sesuai dengan penggolongan program siaran.

* Pasal 17 j
Percakapan atau adegan yang menggambarkan rangkaian aktivitas ke arah hubungan seks dan/atau persenggamaan.




Kode Etik Jurnalistik
* Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

* Penafsiran :
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

----------------------------------------------------------------------------------


** ANALISIS **

Berawal dari pembacaaan dakwaan JPU, yang menceritkan pertemuan Rani dengan Antasari untuk membicarakan keanggotaan Antasari di Modern Golf Tanggerang. Menjelang pulang, terdakwa memberi Rani uang 300 dollar AS. Antasari lalu memeluk Rani dan mengajak bersetubuh. Namun, ajakan ditolak dengan mengatakan, “Lain kali aja Pak,” ucap JPU menirukan Rani dalam pembacaan dakwaan. Tak berhenti sampai di situ, terdakwa lantas mencium pipi kiri dan pipi kanan.

Pertemuan itu lalu diceritakan Rani kepada Nasrudin. Merasa mempunyai kepentingan, Nasrudin lantas meminta Rani kembali menemui Antasari. Ia berharap Rani dapat menjadi penghubung dengan Antasari. Hal ini terkait dengan usaha Nasrudin untuk menjadi direktur BUMN. Setelah dihubungi, terdakwa bersedia bertemu di tempat yang sama. Selanjutnya, dengan menggunakan taksi, Rani dan Nasrudin menuju Hotel Grand Mahakam.
“Saat akan menuju kamar, korban diminta agar mengaktifkan HP supaya bisa mendengar pembicaraan,” terang JPU.

Pada saat Rani masuk, ucap JPU, Antasari sudah berada di dalam kamar dan mempersilakan Rani duduk di sofa. Rani kembali meminta Antasari menjadi anggota Modern Golf, dan juga menanyakan kemungkinan “kerabat”-nya (Nasrudin) menjadi Direktur BUMN. Di sela pembicaraan, Antasari meminta Rani memijat punggungnya. “Pada saat sedang dipijat, terdakwa membalikkan tubuh lalu mencium pipi, bibir, membuka kancing baju dan menurunkan bra sebelah kiri sambil berkata ‘katanya pertemuan selanjutnya kamu mau’,” terang JPU.

“Ajakan tersebut kembali ditolak Rani. Karena takut terdengar korban, Rani kemudian mematikan telepon seluler. Meskipun ditolak, terdakwa masih terus menjamah tubuh Rani Juliani dan meminta Rani memegang alat kelamin Antasari hingga mengeluarkan sperma. Sebelum pulang, Antasari memberikan uang sebesar 500 dollar AS,” ujar JPU.


Yang menjadi masalah disini adalah TV One menayangkan secara langsung pembacaan tersebut, yang notabene adalah sidang yang terbuka untuk umum. Sidang-sidang di pengadilan yang bersifat terbuka untuk umum, biasanya berhubungan dengan kepentingan publik. Yang bersifat tertutup misalnya menyangkut sidang anak-anak, keluarga atau perbuatan asusila. Kategori yang kedua inilah yang memang tertutup untuk disiarkan langsung.

Lalu dimana letak kesalahan lembaga penyiaran (TV One) dalam kasus tayangan langsung/LIVE sidang Antasari Azhar? Jawabannya adalah kesalahan prosedur lapangan.

Prosedurnya, dalam waktu empat detik setelah on air, produser siaran di lapangan langsung bisa melakukan sensor jika ada materi siaran langsung yang diduga melanggar kode etik. Jika menyangkut bahasa audio, maka produser acara LIVE, menghapus sehingga tidak keluar suara. Yang terlihat hanya gerak bibir orang. Hal seperti ini, biasa dilakukan beberapa lembaga siaran luar negeri seperti CNN. Barangkali itulah kesalahan TV One yang tidak melakukan mekanisme itu. Hal tersebut, menyadarkan lembaga penyiaran, betapa pentingnya melakukan mekanisme swasensor. Terutama acara yang disiarkan secara LIVE, yang materinya diduga akan membentur masalah etika. Di sinilah pentingnya peran ombudsman atau majelis etik pada setiap lembaga siaran. Seharusnya mereka lah yang aktif memeriksa siaran-siaran yang menimbulkan reaksi publik. Jika memang ada siaran yang melanggar etika penyiaran, ombudsman harus segera menyiarkan kesalahan tersebut dan meminta maaf kepada publik. Meminta maaf tidak akan meruntuskan kredibilitas lembaga penyiaran.

Media siaran juga sebenarnya punya organisasi, yaitu ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia). Mereka juga telah memiliki Kode Perilaku sendiri. Semestinya majelis etik ATVSI bersikap aktif dalam kasus penayangan langsung sidang Antasari Azhar tersebut. Jika memang ditemukan pelanggaran dari TV One, mereka dapat membuat surat teguran, yang juga diumumkan ke publik. Jika mekanisme swasensor bisa dilakukan lembaga siaran sendiri, dan peran majelis etik ATVSI berjalan, maka lembaga siaran tak lagi membutuhkan teguran dari KPI atau Dewan Pers. Memang, alangkah indahnya jika setiap institusi mau mematut diri di depan kaca. Jika perlu dilakukan setiap hari. Tapi bukan untuk menjadi semakin narsis. Melainkan untuk mengenali “bintik noda” yang ada. Sekecil apapun “bintik noda” itu, harus segera dihapus agar memperoleh kepercayaan publik. Tapi jika media siaran tak mau juga berkaca diri, maka jangan salahkan jika ada institusi seperti KPI yang setiap saat akan menyemprit mereka. Untung jika sempritan KPI masih berupa “kartu kuning”, bukan “kartu merah”. Tentu kita tidak mengharapkan jika sempritan itu dibunyikan ramai-ramai dari publik!

Jika itu yang terjadi, di sinilah kredibilitas media penyiaran menjadi taruhannya.

1 komentar: